Thursday, January 11, 2018

HUKUM KHITAN BAGI WANITA

0096. Hukum Khitan Bagi Wanita
Dalam kitab- kitab fikih disebutkan bahwa khitan artinya adalah qoth'ul qulfah  aw jildah lil jariyah ,
Pengertian khitan maksudnya memotong kulit penutup< KHASYAFAH (GLANDS PENIS) bagi anak lelaki atau kulit (PREPUCE) yang ada diatas CLITORIS bagi anak wanita.
Praktek ini sering disebut juga dengan istilahCIRCUMSISI, mengambil istilah dari suatu nama sekte Nashrani yang taat melakukan ajaran bersunat seperti apa yang dilakukan oleh Yesus sendiri dan para murid- muridnya serta dilakukan juga oleh para penganut Yahudi, sebagai warisan Millah Ibrohiim.
Nabi Ibrohim menerima wahyu Allah untuk berkhitan tatkala beliau telah berumur 80 tahun, dan dilakukan dengan menggunakan kapak (Qodum), sesuai hadist Nabi dalam Asshohihain : Ikhtana ibroohiimu wa huwa ibnu tsamaanina sanatan bilquduumi. Dalam satu pendapat yang lain Qodum adalah nama suatu tempat di negeri Syam. (Ibnu Hajar Al- Asqolani: Fatkhul Baari 10/ 386)
Imam Nawawi Ad- Dimasyqy dalam Syarah Sohih Muslim menjelaskan: “Yang wajib bagi laki- laki adalah memotong seluruh kulit (Qulf) yang menutupi kepala Khasyafah sehingga kepala Dzakar itu terbuka seluruhnya. Sedangkan bagi wanita yang wajib hanyalah memotong SEDIKIT daging (Jildah) yang berada pada bagian atas Farj. (Syarah Muslim 1/543, Fatkhul Bari 10/384- 387, Syarhul- Muhadzab).
Sebagian orang yang kurang mengerti sering mencampur adukkan antara khitan wanita (Female Circumsision) yang islamy dengan VAGINA MUTILATION yang pada praktiknya memotong habis seluruh LABIA (Labia mayora dan Labia minora) dan kemudian menjahitnya sehingga tersisa lubang yang sedikit, dimana praktek model ini banyak dilakukan di Africa, dan ini murni budaya Africa kuno yang tidak ada hubungannnya sama sekali dengan ajaran islam yang murni. Rasulullah tatkala melihat pelaksanaan khitan wanita di Madinah yang dilakukan oleh seorang Shohabiyah yang bernama Ummi ‘Atiyah berpesan wanti- wanti agar jangan melakukan praktek yang berlebihan itu dengan mengatakan:
“Jika kamu mengkhitan maka hendaklah sedikit saja, jangan dihabiskan, karena yang demikian itu lebih mempercantik wajah dan lebih disukai suami” H.R. Abu Dawud dan Al- Khotib.
Abu Dawud menilai hadist ini ada titik lemah, namun menurut Imam Ibnu Hajar Al- Asqolani, hadist ini memiliki dua saksi penguat, yakni melalui hadist Anas dan hadist Ummu Aiman.
Yang dimaksudkan dengan lafadh “Isymi” adalah ratakan, sehingga bagian kulit (prepuce) yang keluar dan menonjol dari bibir faraj dipotong sehingga masih ada bagian yang ada didalam bibir faraj.
Seperti diketahui bahwa CLITORIS dan Prepuce (yang merupakan Obstacle clitoris) adalah bagian kewanitaan yang sangat sensitive dan mudah terangsang, sehingga bila ada bagian Obstacle yang menonjol maka akan sangat mudah bersentuhan dengan benda- benda luar yang akan berakibat bangkitnya nafsu birahi seorang wanita. Maka Islam sebagai suatu agama yang suci menjaga kesucian para wanita agar mereka hanya bangkit nafsu seksualnya tatkala telah disentuh dan di trigger oleh suaminya saja dan tidak terangsang disetiap waktu dan keadaan, sehingga dengan demikian akan selalu terjaga hubungan seksual yang suci yang diridhoi Allah SWT.
Hukum dan Tujuan Khitan
Adapun dalil dan dasar- dasar hukum yang berkenaan dengan masalah khitan adalah:
1.Firman Allah: “Kemudian aku wahyukan kepadamu (Muhammad), agar mengikuti agama Ibrahim yang hanif (condong/ berpihak kepada kebenaran). An- Nahl 123. Beberapa ayat yang senada juga dapat ditemukan dalam bagian lain Surah Al- Qur’an.
1.Rasulullah menyatakan:”Dasar kesucian (FITRAH) itu ada lima, yaitu: 1- Khitan,
2- Mencukur bulu kemaluan, 3- Mencukur bulu ketiak, 4- Mencukur kumis, dan
5- Memotong kuku- kuku”. H.R. Bukhori dan Muslim. Hadist ini adalah sumber yang
paling shohih tentang masalah khitan ini dan bersifat UMUM, artinya berlaku baik untuk
laki- laki dan perempuan. Dalam hal ini Fitrah identik dengan Sunnah atau Ad- Dien
yang bersesuaian dengan ajaran islam, karena itu khitan dalam khazanah bahasa Indonesia
sering juga disebut SUNNATAN.
1.Rasulullah bersabda: “Allah tidak menerima sholat kalian bila tidak suci”. Tanpa berkhitan, selalu ada sisa- sisa air seni/ najis yang tertinggal dibawah Qulf. Maka agar sholat kita diterima Allah, kita harus berkhitan sebagai usaha agar kesucian terjamin. Sesuai Qo’idah USHUL FIQH yang menyatakan : maa laa yatimmul waajibu illaa bihii fahuwa waajibun, “Sesuatu yang (menyebabkan) sebuah kewajiban tak mungkin bisa dilakukan dengan sempurna, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib”. Maka hukum khitan bagi lelaki yang berdasar hadist diatas yang pada asalnya sunnah, menjadi wajib karena sebagai sarana kesucian untuk melaksanakan sebuah kewajiban.
Hukum khitan bagi laki- laki adalah WAJIB, ini disepakati oleh Jumhur Ulama’, sedang bagi wanita diperselisihkan diantara para Ulama, yakni antara Wajib dan Sunnah.
Sebahagian menyatakan kewajiban khitan bagi wanita seperti pendapat Ashab As-Syafi’I, sebagaimana kewajiban khitan bagi kaum lelaki dengan beberapa alasan, yaitu:
1.Khitan wanita sering dinyatakan oleh Rasulullah secara berbarengan dengan kaum lelaki, sesuai pernyataan beliau: “Apabila bertemu dua khitan maka mereka wajib mandi” Hadist riwayat At- Turmudzi, Ahmad dan Ibnu Majah. Masih banyak lagi hadist yang semakna dengan hadist ini .
2.Dalam hadist yang lain Nabi menyatakan bahwa “Kaum wanita itu saudaranya kaum
lelaki”. Maka kalau lelaki wajib berkhitan, maka kaum perempuan juga wajib berkhitan.
Demikian ini keyakinan sebahagian para ulama Syafi’iyah sebagaimana terungkap
dalam pernyataan Imam Nawawi sesuai keterangan diawal tulisan ini, mereka berpendapat
bahwa khitan bagi wanita itu WAJIB hukumnya.
Sedangkan menurut Imam Malik dan sebagian lagi sahabat Syafi’I seperti pernyataan Sohibul Mughni dari Ahmad, menyatakan hukumnya sunnah berdasarkan keumuman hadist shohih riwayat Bukhori dan Muslim, dan hadist dari Syaddad bin Aus yang menyatakan:
“Khitan itu perilaku Nabi- nabi bagi lelaki dan kehormatan bagi kaum wanita”
Disamping itu hujjah bagi mereka yang menyatakan tidak wajibnya khitan bagi wanita, karena khitan wanita tidak mempengaruhi keabsahan ibadah sholatnya, tapi lebih dimaksudkan untuk menstabilkan hasrat seksualnya sebagaimana pernyataan Imam Ibnu Taimiyah tatkala beliau ditanya: Apakah wanita juga dikhitan? Beliau menjawab:” Ya, wanita itu dikhitan. Dan khitannya dengan memotong kulit yang paling atas (jildah) yang mirip dengan jengger ayam jantan. Rasulullah bersabda: “Sedikit saja jangan semuanya karena itu lebih bisa membuat wajah ceria dan lebih disenangi suami” Hal itu karena tujuan khitan laki- laki ialah untuk menghilangkan najis yang terdapat dalam penutup kulit dzakar, sedangkan tujuan khitan wanita adalah untuk menstabilkan syahwatnya, karena kalau wanita tidak dikhitan, maka syahwatnya akan sangat besar. (Majmu’ fatawa 21/114)
Waktu Khitan
Menurut Al- Mawardy, ada tiga waktu untuk berkhitan, yakni:
1.Waktu WAJIB, yakni saat seorang anak telah mencapai umur BALIGH.
2.Waktu Sunnah, Yakni saat anak belum mencapai umur baligh.
3.Waktu Ikhtiyar, yakni saat bayi umur 7 (tujuh) hari, atau 40 hari atau umur 7 (tujuh) tahun saat anak mulai diajari dan diperintah sholat.
Walimatul khitan
Dasar yang kuat tentang walimatul khitan tidak ditemukan, namun sebagian para salaf telah melakukan itu untuk khitan lelaki, sedang khitan wanita tidak diumumkan. Syekh Abu Abdullah bin Al- Haj dalam “Al- Madkhol” menyatakan: “Sesungguhnya yang sunnah, menjelaskan/ terang- terangan untuk pelaksanaan khitan anak lelaki, dan menyamarkan pelaksanaan khitan bagi wanita”. Wallahu a’lam.
Lihat masalah ini pada Fathul Baari Syarah Shohih Bukhory oleh Imam Ibnu Hajar Al- Asqolani juz 10 halaman 384- 387.Darul Hadist Qohiroh1424 H, dll)
Copyright © www.piss-ktb.com 2017
____________
Dari Aplikasi: Tanya Jawab Islam
Download:
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.zam.pisslite

WANITA BERJILBAB, WAJIBKAH?

0065. Kewajiban Jilbab : Wajah Dan Telapak Tangan Wanita Bukan Aurat
PERTANYAAN :
Tommy Sumardi
Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim trbesar di dunia(katanya), Tapi Wanita indonesia lebih bnyk yang tidak memakai jilbab..baik orang tua dan muda. Padahal mereka Muslimat ..berjilbab kadang bila berpergian saja. Pertanyaanya, sebenarnya Hukum jilbab untuk wanita itu wajib atau tidak..? mohon di jelaskan mbah, dan para ustadz semua.
JAWABAN :
Mbah Jenggot
Telah menjadi suatu ijma' bagi kaum Muslimin di semua negara dan di setiap masa pada semua golongan fuqaha, ulama, ahli-ahli hadits dan ahli tasawuf, bahwa rambut wanita itu termasuk perhiasan yang wajib ditutup, tidak boleh dibuka di hadapan orang yang bukan muhrimnya . Adapun sanad dan dalil dari ijma' tersebut ialah ayat al-Qur'an:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
"Katakanlah kepada wanita yang beriman; Hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, ..." (QS. an-Nûr: 31).
Sulis Saja Imuet
‎(وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ )(النور: من الآية31)
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan khimar ke juyub (celah-celah pakaian) mereka.”(Qs. 24:31)
Berkata Ath-Thabary rahimahullahu:
وليلقين خُمُرهنّ …على جيوبهنّ، ليسترن بذلك شعورهنّ وأعناقهن وقُرْطَهُنَّ
“Hendaknya mereka melemparkan khimar-khimar mereka di atas celah pakaian mereka supaya mereka bisa menutupi rambut, leher , dan anting-anting mereka.” (Jami’ul Bayan 17/262, tahqiq Abdullah At-Turky)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu:
يعني: المقانع يعمل لها صَنفات ضاربات على صدور النساء، لتواري ما تحتها من صدرها وترائبها؛ ليخالفن شعارَ نساء أهل الجاهلية، فإنهن لم يكن يفعلن ذلك، بل كانت المرأة تمر بين الرجال مسفحة بصدرها، لا يواريه شيء، وربما أظهرت عنقها وذوائب شعرها وأقرطة آذانها. …والخُمُر: جمع خِمار، وهو ما يُخَمر به، أي: يغطى به الرأس، وهي التي تسميها الناس المقانع
“Khimar, nama lainnya adalah Al-Maqani’, yaitu kain yang memiliki ujung-ujung yang dijulurkan ke dada wanita, untuk menutupi dada dan payudaranya, hal ini dilakukan untuk menyelisihi syi’ar wanita jahiliyyah karena mereka tidak melakukan yang demikian, bahkan wanita jahiliyyah dahulu melewati para lelaki dalam keadaan terbuka dadanya, tidak tertutupi sesuatu, terkadang memperlihatkan lehernya dan ikatan-ikatan rambutnya, dan anting-anting yang ada di telinganya. Dan khumur adalah jama’ dari khimar, artinya apa-apa yang digunakan untuk menutupi, maksudnya disini adalah yang digunakan untuk menutupi kepala, yang manusia menyebutnya Al-Maqani’ (Tafsir Ibnu Katsir 10/218, cet. Muassah Qurthubah)
Lihat keterangan yang semakna di kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Al-Baghawy, Tafsir Al-Alusy, Fathul Qadir dll, ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31.
Dan kitab-kitab fiqh seperti , Mughny Al-Muhtaj (1/502, cet. Darul Ma’rifah) dll.
Demikian pula kitab-kitab lughah (bahasa) seperti Al-Mishbahul Munir (1/248, cet. Al-Mathba’ah Al-Amiriyyah), Az-Zahir fii ma’ani kalimatin nas (1/513, tahqiq Hatim Shalih Dhamin), Lisanul ‘Arab hal:1261, Mu’jamu Lughatil Fuqaha, dll.
Yang intinya bahwa pengertian khimar di dalam surat An-Nur ayat 31 adalah kain kerudung yang digunakan wanita untuk menutup kepala sehingga tertutup rambut, leher, anting-anting dan dada mereka. Sementara itu wajib bagi wanita muslimah mengenakan jilbab setelah mengenakan khimar ketika keluar rumah, sebagaimana tercantum dalam firman Allah ta’ala:
(يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَحِيماً) (الأحزاب:59)
Artinya:” Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. 33:59)
Para ulama berbeda-beda dalam menafsirkan jilbab, ada yang mengatakan sama dengan khimar, ada yang mengatakan lebih besar, dll (lihat Lisanul Arab hal: 649). Dan yang benar –wallahu a’lamu- jilbab adalah pakaian setelah khimar, lebih besar dari khimar, menutup seluruh badan wanita.
Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu:
والجلباب هو: الرداء فوق الخمار
“Dan jilbab adalah pakaian di atas khimar.” (Tafsir Ibnu Katsir 11/252)
Berkata Al-Baghawy rahimahullahu:
وهو الملاءة التي تشتمل بها المرأة فوق الدرع والخمار.
“Jilbab nama lainnya adalah Al-Mula’ah dimana wanita menutupi dirinya dengannya, dipakai di atas Ad-Dir’ (gamis/baju panjang dalam/daster) dan Al-Khimar.” (Ma’alimut Tanzil 5/376, cet. Dar Ath-Thaibah)
Berkata Syeikhul Islam rahimahullahu:
و الجلابيب هي الملاحف التي تعم الرأس و البدن
“Dan jilbab nama lain dari milhafah, yang menutupi kepala dan badan.” (Syarhul ‘Umdah 2/270)
Berkata Abu Abdillah Al-Qurthuby rahimahullahu:
الجلابيب جمع جلباب، وهو ثوب أكبر من الخمار…والصحيح أنه الثوب الذي يستر جميع البدن. “الجلابيب
adalah jama’ جلباب, yaitu kain yang lebih besar dari khimar…dan yang benar bahwasanya jilbab adalah kain yang menutup seluruh badan.” (Al-Jami’ li Ahkamil Quran 17/230, tahqiq Abdullah At-Turky)
Sulis Saja Imuet
اعلم أن عورة المرأة أمام الرجل الأجنبي جميع بدنها سوى وجهها وكفّيها، فيجوز لها أن تخرج من بيتها كاشفة وجهها إجماعاً.
وقد نقل هذا الإِجماع ابن حجر الهيتمي في كتابيه الفتاوى الكبرى وحاشية شرح الإِيضاح على مناسك الحج للنووي.
ففي الأوّل (1): " وحاصل مذهبنا أن إمام الحرمين نقل الإِجماع على جواز خروج المرأة سافرة الوجه وعلى الرجال غضّ البصر" ا. هـ.
وقال في الثاني (2): " إنه يجوز لها كشف وجهها إجماعاً وعلى الرجال غضُّ البصر، ولا ينافيه الإِجماع على أنها تؤمر بستره لأنه لا يلزم من أمرها بذلك للمصلحة العامة وجوبه ". ا . هـ.
وقال في موضع ءاخر (3) فيه: "قوله (أي النووي) أو احتاجت المرأة إلى ستر وجهها، ينبغي أن يكون من حاجتها لذلك ما إذا خافت من نَظَرٍ إليها يجرّ لفتنة، وإن قلنا لا يجب عليها ستر وجهها في الطُّرُقات كما هو مقرر في محله ". ا. هـ.
وقال زكريا الأنصاري في شرح الروض (4) ما نصّه: وما نقله الإمام من الاتفاق على منع النساء أي منع الولاة لهن مما ذكر- أي من الخروج سافرات- لا ينافي ما نقله القاضي عياض عن العلماء أنه لا يجب على المرأة ستر وجهها في طريقها وإنما ذلك سنّة وعلى الرجال غضّ البصر عنهن لقوله تعالى: {قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ} سورة النُّور/ 30) الآية، لأن منعهن من ذلك لا لأن الستر واجب عليهن قي ذاته بل لأنه سنّة وفيه مصلحة عامة وفي تركه إخلال بالمروءة كالإصغاء من الرجل لصوتها فإنه جائز عند أمن الفتنة، وصوتها ليس بعورة على الأصح في الأصل. ا. هـ.
Cek di fatawi Kubro karangan imam Ibnu Hajar ALhytamy.juga hasiyah sayarah idhoh `ala manasik haji karya imam nawawi
TERDAPAT LEBIH DARI 38 KITAB KARYA ULAMA YANG MENYATAKAN WAJAH DAN TANGAN TIDAK TERMASUK AUROT.
اعلم أن عورة المرأة أمام الرجل الأجنبي جميع بدنها سوى وجهها وكفّيها، فيجوز لها أن تخرج من بيتها كاشفة وجهها إجماعاً.
وقد نقل هذا الإِجماع ابن حجر الهيتمي في كتابيه الفتاوى الكبرى وحاشية شرح الإِيضاح على مناسك الحج للنووي.
ففي الأوّل (1): " وحاصل مذهبنا أن إمام الحرمين نقل الإِجماع على جواز خروج المرأة سافرة الوجه وعلى الرجال غضّ البصر" ا. هـ.
وقال في الثاني (2): " إنه يجوز لها كشف وجهها إجماعاً وعلى الرجال غضُّ البصر، ولا ينافيه الإِجماع على أنها تؤمر بستره لأنه لا يلزم من أمرها بذلك للمصلحة العامة وجوبه ". ا . هـ.
وقال في موضع ءاخر (3) فيه: "قوله (أي النووي) أو احتاجت المرأة إلى ستر وجهها، ينبغي أن يكون من حاجتها لذلك ما إذا خافت من نَظَرٍ إليها يجرّ لفتنة، وإن قلنا لا يجب عليها ستر وجهها في الطُّرُقات كما هو مقرر في محله ". ا. هـ.
وقال زكريا الأنصاري في شرح الروض (4) ما نصّه: وما نقله الإمام من الاتفاق على منع النساء أي منع الولاة لهن مما ذكر- أي من الخروج سافرات- لا ينافي ما نقله القاضي عياض عن العلماء أنه لا يجب على المرأة ستر وجهها في طريقها وإنما ذلك سنّة وعلى الرجال غضّ البصر عنهن لقوله تعالى: {قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ} سورة النُّور/ 30) الآية، لأن منعهن من ذلك لا لأن الستر واجب عليهن قي ذاته بل لأنه سنّة وفيه مصلحة عامة وفي تركه إخلال بالمروءة كالإصغاء من الرجل لصوتها فإنه جائز عند أمن الفتنة، وصوتها ليس بعورة على الأصح في الأصل. ا. هـ.
وقد جاء عن ابن عباس وعائشة أنّهما فسّرا قول تعالى: {وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا } سورة النُّور/31) بالوجه والكفّين، وهذا هو الصحيح الذي تؤيّده الأدلة كحديث المرأة الخثعمية الذي أخرجه البخاري (5) ومسلم (6) ومالك (7) وأبو داود (8) والنسائي (9) والدارِمي (10) وأحمد (11) من طريق عبد الله بن عبّاس قال: " جاءت امرأة خثعمية غداة العيد، فسألت رسول الله صلى الله عليه وسلم بقولها: يا رسول الله إن فريضة الحج أدركت أبي شيخاً كبيراً لا يستطيع أن يثبت على الراحلة، أفأحجّ عنه؟ قال: "حجّي عنه "، قال ابن عبّاس وكانت شابة وضيئة، فجعل الفضل ينظر إليها أعجبه حُسنها، فلوى رسول الله عنق الفضل ". وعند الترمذي من حديث علي (12): "وجعلت تنظر إليه أعجبها حُسنه ". قال العبّاس: يا رسول الله لِمَ لويت عنق ابن عمّك؟ فقال: " رأيت شاباً وشابة فلم ءامن الشيطان عليهما"، قال ابن عبّاس: وكان ذلك بعد ءاية الحجاب. ا. هـ.
ولفظ البخاري (13) عن عبد الله بن عبّاس قال: أردف النبيّ الفضل بن عباس يوم النحر خلفه على عجز راحلته، وكان الفضل رجلاً وضيئاً، فوقف النبي صلى الله عليه وسلم بالناس يفتيهم، وأقبلت امرأة من خثعم وضيئة تستفتي رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فطفق الفضل ينظر إليها وأعجبه حسنها، فالتفت النبي صلى الله عليه وسلم والفضل ينظر إليها فأخلف بيده فأخذ بذقن الفضل فعدل وجهه عن النظر إليها. قال الحافظ ابن حجر في شرحه ما نصه (14): قال ابن بطال: في الحديث الأمر بغضّ البصر خشية الفتنة، ومقتضاه أنه إذا أمنت الفتنة لم يمتنع، قال: ويؤيده أنه صلى الله عليه وسلم لم يحوّل وجه الفضل حتى أدمن النظر إليها لإِعجابه بها فخشي الفتنة عليه، قال: وفيه مغالبة طباع البشر لابن ءادم وضعفه عما ركّب فيه من الميل إلى النساء والإعجاب بهن. وفيه دليل على أن نساء المؤمنين ليس عليهن من الحجاب ما يلزم أزواج النبي صلى الله عليه وسلم ، إذ لو لزم ذلك جميع النساء لأمر النبي الخثعمية بالاستتار لما صرف وجه الفضل. قال: وفيه دليل على أن ستر المرأة وجهها ليس فرضاً لإِجماعهم على أن المرأة تبدي وجهها في الصلاة ولو رءاه الغرباء، وأن قوله:{ قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ } سورة النور/30) على الوجوب في غير الوجه. قلت: وفي استدلاله بقصة الخثعمية لما ادعاه نظر لأنها كانت محرمة. ا. هـ. أقول: تعقّبُ الحافظ لكلام ابن بطال مدفوع لأنه كان يمكنها أن تجمع بين المصلحتين مصلحة الإِحرام ومصلحة تغطية الوجه بأن تجافي الساتر بشيء يمنع من مَسّه وجهها، كما جاء ذلك عن أمّهات المؤمنين في سفرهنّ للحجّ أنهن كنّ إذا حاذين الركب سَدَلْنَ على وجوههنّ فإذا جاوزن رفعن الساتر، كما رواه أبو داود (15) وابن أبي شيبة (16) وغيرهما. فلو كان سكوته صلى الله عليه وسلم عن أمر الخثعمية بتغطية وجهها لأجل إحرامها لأمرها بسدل الساتر على وجهها مع مجافاته حتى لا يلتصق بالوجه لكنه لم يأمرها، ولما لم يأمر المرأة الخثعمية بتغطية وجهها في ذلك الجمع الكبير، الذي قال جابر في وصف ما كان من الحجّاج عندما خرج النبيّ من المدينة: إن الناس كانوا مدّ البصر في جوانبه الأربعة: أمامه وخلفه ويمينه وشماله، علم من ذلك عدم وجوبه، ولو كان واجباً لأمرها بذلك. فتبيّن بما ذكرنا أن دعوى بعض أن سكوت النبيّ على كشف الخثعمية وجهها كان لأجل الإحرام دعوى فاسدة لا عبرة بها. فسكوته صلى الله عليه وسلم دليل ظاهر على أن وجه المرأة من غير أمّهات المؤمنين يجوز كشفه في الطرق ونحوها، لأن هذه الخثعمية كانت عند الرمي وذلك الموضع يكثر فيه اجتماع الحجّاج حتى إنه يحصل كثيراً التلاصق بين الرجال والنساء من شدة الزحمة بلا تعمّد.
وروى الحديث أيضاً البخاري في كتاب الحجّ عن عبد الله بن عبّاس رضي الله عنهما قال: كان الفضل رديف النبي صلى الله عليه وسلم فجاءت امرأة من خثعم، فجعل الفضل ينظر إليها وتنظر إليه، فجعل النبي صلى الله عليه وسلم يصرف وجه الفضل إلى الشق الآخر، فقالت: إن فريضة الله أدركت أبي شيخاً كبيراً لا يثبت على الراحلة، أفأحج عنه؟ قال: " نعم " وذلك في حجة الوداع. اهـ.
قال الحافظ ابن حجر(17): قوله: فجاءته امرأة من خَثعم- بفتح المعجمة وسكون المثلثة- قبيلة مشهورة، قوله: فجعل الفضل ينظر إليها، في رواية شعيب: وكان الفضل رجلاً وضيئاً أي جميلاً وأقبلت امرأة من خثعم وضيئة، فطفق الفضل ينظر إليها وأعجبه حسنها. قوله: يصرف وجه الفضل، في رواية شعيب: فالتفت النبي صلى الله عليه وسلم والفضل ينظر إليها فأخلف بيده فأخذ بذقن الفضل فدفع وجهه عن النظر إليها.، وهذا هو المراد بقوله في حديث علي: فلوى عنق الفضل. ووقع في رواية الطبري في حديث علي: وكان الفضل غلاماً جميلاً فإذا جاءت الجارية من هذا الشقّ صرف رسول الله صلى الله عليه وسلم وجه الفضل إلى الشقّ الآخر، فإذا جاءت إلى الشق الآخر صرف وجهه عنه، وقال في ءاخره : " رأيت غلاماً حَدَثاً وجارية حَدَثة فخشيت أن يدخل بينهما الشيطان ". ا. هـ. وفي هذا الحديث دلالة على رجحان جواز كشف المرأة وجههـا مع خوف الفتنة، وهذا ما قاله شارح مختصر خليل محمد عليش المالكي في كتاب الصلاة.، ومحل الدليل في الحديث قوله عليه السلام: " رأيتُ غلاماً حَدَثاً وجارية حَدَثة فخشيت أن يدخل بينهما الشيطان ".، ومقابله ما ذكره بعض الشافعية من المتأخرين كالشيخ زكريا الأنصاري والرملي.، وهذه الرواية التي عزاها الحافظ للطبري صحيحة أو حسنة عند ابن حجر لأنه التزم في المقدمة أن ما يورده من الأحاديث مما هو شرح لرواية البخاري أو زيادة عليها فهو صحيح أو حسن.
وقال صاحب المبسوط الحنفي (18): " ثم لا شك أنه يُباح النظر إلى ثيابها ولا يعتبر خوف أمن الفتنة في ذلك فكذلك إلى وجهها وكفيها ". ا. هـ.
وقال الشيخ محمد عليش المالكي في شرح مختصر خليل (19) ممزوجا بالمتن: " وهي- أي العورة- من حرة مع رجل أجنبي مسلم جميع جسدها غير الوجه والكفّين ظهراً وبطناً، فالوجه والكفّان ليسا عورة فيجوز لها كشفهما للأجنبي وله نظرهما إن لم تخش الفتنة.، فإن خيفت به فقال ابن مرزوق: مشهور المذهب وجوب سترهما، وقال عياض: لا يجب سترهما ويجب عليه غضّ بصره ". ا. هـ. فالراجح عدم اشتراط أمن الفتنة لما في حديث الخثعمية السابق الذكر من أن الرسول عليه الصلاة والسلام قال للعبّاس:"رأيت غلاماً حَدَثاً وجارية حَدَثة فخشيت أن يدخل بينهما الشيطان ". فلا حجة في قول بعض المتأخرين ممن ليسوا من أهل الوجوه إنما هم نقلة إن ستر الوجه في هذا الزمن واجب على المرأة دفعاً للفتنة لا لأنه عورة لأمرين، أحدهما أن هذا القول أي اشتراط أمن الفتنة منها أو عليها لعدم وجوب ستر الوجه كما زعمه بعض الشافعية وهو مذكور في شرح المهذب وشرح روض الطالب وشرح الرملي على منهاج الطالبين، ليس منقولاً عن إمام كالشافعي أو غيره من الأئمة ولا هو منقول عن أصحاب الوجوه من المذهب. وكيفما كان الأمر فالصحيح ما وافق النص. والمراد بالفتنة في هذه المسألة الداعي إلى جماع أو خلوة أو نحوهما كما صرح بذلك زكريا الأنصاري (20). ويشهد لهذا أيضاً ما رواه ابن حبّان (21) مرفوعاً من حديث ابن عباس قال: كانت تصلي خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم امرأة حسناء من أحسن النّاس، فكان بعض القوم يتقدم في الصف الأول لئلا يراها، ويستأخر بعضهم حتى يكون في الصف المؤخر، فكان إذا ركع نظر من تحت إبطه، فأنزل الله في شأنها: {وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ} سورة الحِجر/24)، الشاهد فيه أن الرسول لم يقل لتلك المرأة الحسناء انقبعي في بيتك أو تعالي مغطية وجهك، فلما لم يقل ذلك علمنا أن خوف الفتنة لا يناط به الحكم. ثم الإجماع الذي انعقد على أنه يجوز للمرأة كشف وجهها وعلى الرجال غض البصر لا ينتقض حكمه برأي بعض المتأخرين، وهذا الإجماع قد نقله ابن حجر الهيتمي في حاشية الإيضاح وغيره بعد نقل القاضي عياض لذلك. قد أسفر الصبح لذي عينين.
ولا يقال أيضاً إن حديث: "احتجبا منه " خطاباً لزوجتيه حين دخل ابن أم مكتوم دليل على أن وجه المرأة يجب ستره، فإن ذلك مختصٌّ بأزواج النبي كما قال أبو داود في سننه جمعاً بينه وبين حديث فاطمة بنت قيس، الذي فيه أنه عليه الصلاة والسلام قال لها: "اعتدّي في بيت ابن أمّ مكتوم فإنه رجل أعمى تضعين ثيابك عنده "، ففرّق رسول الله صلى الله عليه وسلم في الحكم بين نسائه وبين غيرهنّ، لأنه سمح لفاطمة بنت قيس أن تضع ثيابها عند هذا الأعمى الذي قال لزوجتيه: "احتجبا منه ".
وحديث فاطمة بنت قيس رواه مسلم (22)، أمّا حديث "احتجبا منه "، فلم يخرجه بل أخرجه أبو داود (23)، وهو مختلف في صحته كما قال الحافظ ابن حجر، فلا يجوز إلغاء حديث فاطمة بنت قيس من أجل حديث: " احتجبا منه"، لأن ذلك مخالف للقاعدة الأصولية والحديثية من أنه إذا تعارض حديثان جُمع بينهما ما أمكن الجمع، والجمع هنا بين الحديثين ممكن بما قررنا. وقد تقرر هذا الحكم عند الأصوليين والمحدثين، وجاء ذلك عن مالك وغيره.
وفي سنن أبي داود (24) أن أسماء بنت أبي بكر دخلت على رسول الله صلى الله عليه وسلم وعليها ثياب رقاق فأعرض عنها رسول الله صلى الله عليه وسلم
وقال: " يا أسماء إن المرأة إذا بلغت المحيض لم تصلح أن يُرى منها إلا هذا وهذا" وأشار إلى وجهه وكفّيه، وهذا الحديث مشهور وإن كان في سنده كلام.
وفي تفسير الفخر الرازي (25) في شرح قول الله تعالى: {وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ} سورة النور/31) إلى ءاخر الآية ما نصه: " اختلفوا في المراد من قوله تعالى: {إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا} سورة النور/31)، أما الذين حملوا الزينة على الخلقة، فقال القفّال: معنى الآية إلا ما يظهره الإنسان في العادة الجارية، وذلك في النساء الوجه والكفّان، وفي الرجل الأطراف من الوجه واليدين والرجلين، فأُمروا بستر ما لا تؤدي الضرورة إلى كشفه ورخّص لهم في كشف ما اعتيد كشفه وأدّت الضرورة إلى إظهاره، إذ كانت شرائع الإسلام حنيفية سهلة سمحة، ولما كان ظهور الوجه والكفّين كالضروري لا جَرَم اتفقوا على أنهما ليسا بعورة" ا. هـ.
وقال النووي في روضة الطالبين(26) ما نصّه: " وأما المرأة فإن كانت حرّة فجميع بدنها عورة إلا الوجه والكفّين ظهرهما وبطنهما إلى الكوعين"ا. هـ. والكوع هو طرف الزند الذي يلي الإبهام.
وقد نقل شمس الدين الرملي (27) في كتابه نهاية المحتاج أن ابن عباس وعائشة قالا في قوله تعالى: {وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا سورة النور/31): هو الوجه والكفّان، وأن الساتر للعورة شرطه أن يكون يمنع إدراك لون البشرة، وإن حكى حجمها كسروال ضيق ولكنه مكروه للمرأة وخلاف الأولى للرجل. ا. هـ. ونقل ذلك أيضاً عن ابن عبّاس وغيره الشيخ زكريا الأنصاري في شرح الروض (28).
وفي كتاب البحر المذهب لأبي المحاسن الروياني الشافعي ما نصه (29): فرع: يكره للمرأة أن تنتقب في الصلاة لأن الوجه من المرأة ليس بعورة فهي كالرجل يكره له أن يصلي متلثماً. ا. هـ. وقال ما نصه (30): قال بعض أصحابنا: تجوز الصلاة في الثوب الواصف للون، وكذا ذكره القفّال زماناً وأُلزم عليه فسادُ صلاةِ العريان في الماء الصافي فرجع عن ذلك ولو كان الثوب صفيقاً يستر لونها جازت الصلاة فيه، وإن وصف حجم الأعضاء والجسد من الأليتين أو الفخذين أو الذكر، لأنه ما من ثوب إلا ويصف ذلك. اهـ.
وقال محمد عليش المالكي في منح الجليل (31): " وكُرِه - بضم فكسر- لباس مُحَدَّدٌ- بضم الميم وفتح الحاء المهملة وكسر الدال مُثَقَّلَةً- أي مظهر حدّ العورة لرقته أو ضيقه وإحاطته، أو باحْتزام عليه ولو بغير صلاة لإِخلاله بالمروءة ومخالفته لزيّ السلف ". ا. هـ.
وقال زكريا الأنصاري في كتابه أسنى المطالب شرح روض الطالب (32): " ولا يضرّها بعد سترها اللون أن تحكي الحجم، لكنه للمرأة مكروه ، وللرجل خلاف الأولى قاله الماوردي وغيره " ا. هـ. وذكر مثل هذا ابن حجر الهيتمي في المنهاج القويم (33) والنووي في شرح المجموع (34)
وقال الإمام علاء الدين المرداوي الحنبلي في كتابه الإنصاف (35): " فأما إن كان (أي الساتر) يستر اللون ويصف الخلقة لم يضرّ، قال الأصحاب لا يضرّ إذا وصف التقاطيع ولا بأس بذلك، نصَّ عليه (أي أحمد) لمشقة الاحتراز" ا.هـ. .
وقال فيه أيضاً (36): " فأما المرأة فيكره الشدّ فوق ثيابها لئلا يحكي حجم أعضائها وبدنها انتهى. قال ابن تميم وغيره: ويكره للمرأة في الصلاة شدّ وسطها بمنديل ومنطقة ونحوهما " ا. هـ.
وفي كتاب الإحسان (37) ما نصه: أخبرنا أحمد بن علي بن المثنى قال: حدثنا القواريري قال: حدثنا بشر بن المفضل عن عبد الرحمن بن إسحق عن أبي حازم عن سهل بن سعد قال: " كن النساء يؤمرن في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم في الصلاة أن لا يرفعن رءوسهن حتى يأخذ الرجال مقاعدهم من الأرض من ضيق الثياب ".
فيتبين بعدما ذكرنا أن عورة المرأة جميع بدنها سوى وجهها وكفّيها، وأنه يجوز لها كشف الوجه والكفّين، وأن على الرجال غضّ البصر، والأحسن أن تسترهما، وأن ما تستعمله المرأة لستر عورتها إن. حكى الحجم وأظهر اللون لا يكفي، وإن حكى الحجم وستر اللون فهو كافٍ مع الكراهة، لأن المرأة لا تقدر على أن تلبس لباساً لا يحكي شيئاً من عورتها على الإطلاق، والأحسن أن تلبس ما كان أوسع كالجلباب، والكراهية في المذاهب الثلاثة مذهب الشافعي ومالك وأحمد هي الكراهية التنزيهية أي ما لا عقاب على فعله وفي تركه ثواب.
وأما النظر إلى وجه غير الملتحي نقل زكريا الأنصاري في شرح الروض (38) عن ابن القطان ما لفظه: وأجمعوا أنه يحرم النظر إلى غير الملتحي لقصد التلذذ بالنظر إليه وإمتاع حاسة البصر بمحاسنه، وأجمعوا على جواز النظر إليه بغير قصد اللذة والناظر من ذلك ءامن من الفتنة، واختلف إن توفر له أحد هذين الشرطين دون الآخر. انتهت عبارة ابن القطان. قال بعض العلماء: وكتاب ابن القطان أحسن ما ألّف في بيان مسائل الإجماع والخلاف جاء بعد ابن المنذر، ومعنى قوله: إن توفر له أحد الشرطين دون الآخر أي أنهم اختلفوا فيما إذا كان انتفى قصد اللذة بالنظر إلى الأمرد ولم يحصل الأمن من الفتنة، والله أعلم. وبما مر من النقول يعلم انتقاض قول بعض المتأخرين من أهل القرن الثاني عشر ونحوه إنه يجب ستر المرأة وجهها لا لأنه عورة بل دفعاً للفتنة.
------------------------------------------
(1) الفتاوى الكبرى (1/ 199).
(2) حاشية شرح الإيضاح في مناسك الحج (ص/276).
(3) المرجع ذاته (ص/ 178).
(4) انظر شرح روض الطالب (3/ 110).
(5) صحيح البخاري: كتاب الحج: باب وجوب الحج وفضله.
(6) صحيح مسلم: كتاب الحج: باب الحج عن العاجز لزمانه وهرم ونحوهما أو للموت.
(7) موطأ مالك: كتاب الحج: باب الحج عمن لا يستطيع أن يثبت على الراحلة.
(8) سنن أبي داود: كتاب المناسك: باب الرجل يحج عن غيره.
(9) سنن النسائي: كتاب المناسك: باب حج المرأة عن الرجل.
(10) سنن الدارمي: كتاب المناسك: باب في الحج عن الحي (2/ 39- 40).
(11) مسند أحمد (1/213).
(12) جامع الترمذي: كتاب الحج: باب ما جاء أن عرفة كلها موقف.
(13) انظر صحيح البخاري، كتاب الاستئذان، باب قول الله تعالى: {يا أيها الذين ءامنوا لا تدخلوا بيوتاً غير بيوتكم}، الآية
(14) انظر فتح الباري (11/ 10).
(15) أخرجه أبو داود في سننه: كتاب المناسك: باب في المحرمة لغطي وجهها.
(16) أخرجه ابن أبي شَيبة في المصنف (3/ 284) كتاب الحج: باب في المحرم يغطي وجهه.
(17) انظر فتح الباري (4/ 67).
(18) المبسوط (10/153).
(19) منح الجليل شرح مختصر خليل (1/222).
(20) انظر شرح روض الطالب لزكريا الأنصاري (3/ 110).
(21) انظر الإحسان بترتيب صحيح ابن حبّان( 11/ 309)
(22) أخرجه مسلم في صحيحه كتاب الطلاق: باب المطلقة ثلاثاً لا نفقة لها.
(23) أخرجه أبو داود في سننه كتاب اللباس: باب في قوله عزّ وجلّ: {وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ} ، قال أبو داود: هذا لأزواج النبي خاصة، ألا ترى إلى اعتداد فاطمة بنت قيس عند ابن أم مكتوم؟ قد قال النبي لفاطمة بنت قيس: اعتدي عند ابن أم مكتوم فإنه رجل أعمى تضعين ثيابك عنده ".
(24) سنن أبي داود: كتاب اللباس: باب فيما تبدي المرأة من زينتها.
(25) التفسير الكبير (23/ 206- 07 2).
(26) روضة الطالبين (1/ 283).
(27) نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج (2/ 80).
(28) أسنى المطالب شرح روض الطالب (1/ 176).
(29) البحر المذهب ق/ 122 (مخطوط).
(30) انظر البحر المذهب (ق/ 116) مخطوط في دار الكتب المصرية برقم/ 22 فقه شافعي.
(31) منح !الجليل شرح مختصر خليل (1/ 226).
(32) أسنى المطالب شرح روض الطالب (1/ 176).
(33) انظر المنهاج القويم (ص/ 182).
(34) انظر المجموع (3/ 170).
(35) الإنصاف في معرفة الراجح من الخلاف (1/449).
(36) المرجع ذاته (1/ 471).
(37) انظر كتاب الإحسان (3/ 317).
(38)انظر شرح الروض (4/180).
Masaji Antoro
تغطية الوجه عند المذاهب الأربعة
مذهب الحنفية
1 ـ قال الشرنبلالي في ( متن نور الإيضاح ) :
« وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها باطنهما وظاهرهما في الأصح ، وهو المختار » .
وقد كتب العلامة الطحاوي في ( حاشيته الشهيرة على مراقي الفلاح شرح متن نور الإيضاح ص 161) عند هذه العبارة ما يلي : « ومَنْعُ الشابة من كشفه ـ أي الوجه ـ لخوف الفتنة ، لا لأنه عورة » اهـ .
2 ـ وقال الشيخ داماد افندي (مجمع الأنهر شرح ملتقى الأبحر ـ 1 / 81) :
« وفي المنتقى : تمنع الشابة عن كشف وجهها لئلا يؤدي إلى الفتنة . وفي زماننا المنع واجب بل فرض لغلبة الفساد وعن عائشة : جميع بدن الحرة عورة إلا إحدى عينيها فحسب ، لاندفاع الضرورة » اهـ .
3 ـ وقال الشيخ محمد علاء الدين الإمام (الدر المنتقى في شرح الملتقى ـ 1 / 81 ( المطبوع بهامش مجمع الأنهر ) :
« وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وقدميها في رواية ، وكذا صوتها، وليس بعورة على الأشبه ، وإنما يؤدي إلى الفتنة ، ولذا تمنع من كشف وجهها بين الرجال للفتنة » اهـ .
والراجح أن صوت المرأة ليس بعورة ، أما إذا كان هناك خضوع في القول ، وترخيم في الصوت فإنه محرم .
4 ـ وقال الشيخ الحصكفي (الدر المختار بهامش حاشية ابن عابدين ـ 3 / 188 ـ 189) :
« يعزر المولى عبده ، والزوج زوجته على تركها الزينة الشرعية مع قدرتها عليها ، وتركها غسل الجنابة ، أو على الخروج من المنزل لو بغير حق ، أو كَشفت وجهها لغير محرم » اهـ باختصار .
5 ـ وقال في موطن آخر :
« وتمنع المرأة الشابة من كشف الوجه بين رجال ، لا لأنه عورة ، بل لخوف الفتنة ، كمسّهِ وإن أَمِنَ الشهوة ، لأنه أغلظ ، ولذا ثبتت به حرمة المصاهرة ».
قال خاتمة المحققين ، العلامة ابن عابدين في حاشيته الشهيرة عند هذه العبارة :
« والمعنى : تُمنَعُ من الكشف لخوف أن يرى الرجال وجهها فتقع الفتنة ، لأنه مع الكشف قد يقع النظر إليها بشهوة .وقوله : « كمسِّهِ » أي : كما يمنع الرجل من مسِّ وجهها وكفِّها وإنْ أَمِنَ الشهوة » اهـ ( انظر : الدر المختار ، مع حاشية رد المحتار ( 1 / 272) .
6 ـ وقال العلامة ابن نجيم ( البحر الرائق شرح كنز الدقائق ـ 1 / 284) :
« قال مشايخنا : تمنع المرأة الشابة من كشف وجهها بين الرجال في زماننا للفتنة » اهـ .
7 ـ وقال أيضًا في موضع آخر ( البحر الرائق شرح كنز الدقائق ـ 2 / 381) :
« وفي فتاوى قاضيخان : ودلَّت المسألة على أنها لا تكشف وجهها للأجانب من غير ضرورة . اهـ وهو يدل على أن هذا الإرخاء عند الإمكان ووجود الأجانب واجبٌ عليها » اهـ .
8 ـ وقال الشيخ علاء الدين عابدين (الهدية العلائية ( ص / 244) :
« وتُمنع الشابة من كشف وجهها خوف الفتنة » اهـ .
وقد أوجب فقهاء الحنفية على المرأة الْمُحْرِمة بحج أو عمرة ستر وجهها عند وجود الرجال الأجانب .
9ـ قال العلامة المرغيناني (الهداية ( 2 / 405) عند كلامه عن إحرام المرأة في الحج : « وتكشف وجهها لقوله عليه السلام : إحرام المرأة في وجهها ».
قال العلامة المحقق الكمال بن الهمام تعليقًا على هذه العبارة :
« ولا شك في ثبوته موقوفًا . وحديث عائشة رضي الله عنها أخرجه أبو داود وابن ماجه ، قالت : كان الركبان يمرون ونحن مع رسول الله صلى الله عليه وسلم محرمات ، فإذا حاذَونا سَدَلَت إحدانا جلبابها من رأسها على وجهها ، فإذا جاوزونا كشفناه . قالوا : والمستحب أن تسدل على وجهها شيئًا وتجافيه ، وقد جعلوا لذلك أعوادًا كالقُبة توضع على الوجه يسدل فوقها الثوب .
ودلت المسألة على أن المرأة منهية عن إبداء وجهها للأجانب بلا ضرورة وكذا دلَّ الحديث عليه » اهـ .
10 ـ وقال العلامة الحصكفي (الدر المختار ورد المحتار ( 2 / 189 ) عند كلامه عن إحرام المرأة في الحج :
« والمرأة كالرجل ، لكنها تكشف وجهها لا رأسها ، ولو سَدَلَت شيئًا عليه وَجَافَتهُ جاز ، بل يندب » .
قال خاتمة المحققين ، العلامة ابن عابدين في حاشيته على « الدر المختار » عند قوله : « بل يُندب » ، قال : « أي خوفًا من رؤية الأجانب ، وعبَّر في الفتح بالاستحباب ؛ لكنْ صرَّحَ في « النهاية » بالوجوب . وفي « المحيط » : ودلَّت المسألة على أن المرأة منهية عن إظهار وجهها للأجانب بلا ضرورة ، لأنها منهية عن تغطيته لحقِّ النُّسك لولا ذلك ، وإلا لم يكن لهذا الإرخاء فائدة » . اهـ ونحوه في الخانية . ووفق في البحر بما حاصله : أنَّ مَحْمَلَ الاستحباب عند عدم الأجانب ، وأما عند وجودهم فالإرخاء واجب عليها عند الإمكان ، وعند عدمه يجب على الأجانب غض البصر ... » اهـ باختصار
*************************************
مذهب المالكية
1 ـ روى الإمام مالك ( الموطأ ـ 2 / 234 بشرح الزرقاني ، وانظر نحوه في : أوجز المسالك ـ 6 / 196) ، عن هشام بن عروة ، عن فاطمة بنت المنذر أنها قالت : « كنا نُخمّر وجوهنا ونحن محرمات ، ونحن مع أسماء بنت أبي بكر الصديق » .
قال الشيخ الزرقاني
« زاد في رواية : فلا تنكره علينا ، لأنه يجوز للمرأة المحرمة ستر وجهها بقصد الستر عن أعين الناس ، بل يجب إن علمت أو ظنت الفتنة بها ، أو يُنظر لها بقصد لذة .
قال ابن المنذر :
أجمعوا على أن المرأة تلبس المخيط كله ، والخفاف ، وأن لها أَنْ تغطي رأسها ، وتستر شعرها ، إلا وجهها ، فَتُسدل عليه الثوب سدلًا خفيفًا تستتر به عن نظر الرجال ، ولا تُخَمِّر ، إلا ما روي عن فاطمة بنت المنذر ، فذكر ما هنا ، ثم قال : ويحتمل أن يكون ذلك التخمير سدلًا ، كما جاء عن عائشة قالت : كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا مُرَّ بنا سَدَلْنا الثوب على وجوهنا ونحن محرمات ، فإذا جاوزْنا رفعناه » اهـ .
2 ـ وقال الشيخ الحطَّاب (مواهب الجليل لشرح مختصر خليل ـ 1 / 499) :
« واعلم أنه إن خُشي من المرأة الفتنة يجب عليها ستر الوجه والكفين . قاله القاضي عبد الوهاب ، ونقله عنه الشيخ أحمد زرّوق في شرح الرسالة ، وهو ظاهر التوضيح . هذا ما يجب عليها »اهـ .
3 ـ وقال الشيخ الزرقاني في شرحه لمختصر خليل :
(( وعورة الحرة مع رجل أجنبي مسلم غير الوجه والكفين من جميع جسدها ، حتى دلاليها وقصَّتها .
وأما الوجه والكفان ظاهرهما وباطنهما ، فله رؤيتهما مكشوفين ولو شابة بلا عذر من شهادة أو طب ، إلا لخوف فتنة أو قصد لذة فيحرم ، كنظر لأمرد ، كما للفاكهاني والقلشاني . وفي المواق الكبير ما يفيده . وقال ابن الفاكهاني : مقتضى مذهبنا أن ذلك لا يحرم إلا بما يتضمنه ، فإن غلبت السلامة ولم يكن للقبح مدخل فلا تحريم )) .
وهذا كله ـ كما ترى ـ في حكم نظر الرجل الأجنبي المسلم إليها .
أما حكم كشف وجهها فلم يتعرض الشارح له في هذا الموضع ، وستجده في الفقرة الرابعة المنقولة من حاشية الشيخ البناني عند كلامه على هذه العبارة نفسها ، فانتظره فإنه بيت القصيد .
(( ومذهب الشافعيّ أَمَسُّ بسدِّ الذرائع ، وأقرب للاحتياط ، لا سيَّما في هذا الزمان الذي اتّسع فيه البلاء ، واتسع فيه الخرق على الراقع » .
اهـ باختصار يسير ( شرح الزرقاني على مختصر خليل ـ 1 / 176) .
4ـ وقد كتب العلامة البنَّاني في حاشيته على شرح الزرقاني لمختصر خليل على كلام الزرقاني السابق (1 / 176 ، ونحوه في حاشية الصاوي على الشرح الصغير 1 / 289) . ) ما يلي
" قول الزرقاني : إلا لخوف فتنة ، أو قصد لذة فيحرم ، أي النظر إليها ، وهل يجب عليها حينئذٍ ستر وجهها ؟ وهو الذي لابن مرزوق في اغتنام الفرصة قائلًا : إنه مشهور المذهب ، ونقل الحطاب أيضًا الوجوب عن القاضي عبد الوهاب ، أو لا يجب عليها ذلك ، وإنما على الرجل غض بصره ، وهو مقتضى نقل مَوَّاق عن عياض . وفصَّل الشيخ زروق في شرح الوغليسية بين الجميلة فيجب عليها ، وغيرها فيُستحب »اهـ .
5 ـ وقال ابن العربي :
« والمرأة كلها عورة ، بدنها ، وصوتها ، فلا يجوز كشف ذلك إلا لضرورة ، أو لحاجة ، كالشهادة عليها ، أو داء يكون ببدنها ، أو سؤالها عما يَعنُّ ويعرض عندها » أحكام القرآن ( 3 / 1579) .
قال محمد فؤاد البرازي : الراجح أن صوت المرأة ليس بعورة ، أما إذا كان هناك خضوع في القول ، وترخيم في الصوت ، فإنه محرم كما سبق تقريره .
6 ـ وقال القرطبي ـ رحمه الله تعالى ـ في تفسيره ( 12 / 229) :
« قال ابن خُويز منداد ــ وهو من كبار علماء المالكية ـ : إن المرأة اذا كانت جميلة وخيف من وجهها وكفيها الفتنة ، فعليها ستر ذلك ؛ وإن كانت عجوزًا أو مقبحة جاز أن تكشف وجهها وكفيها » اهـ .
7 ــ وقال الشيخ صالح عبد السميع الآبي الأزهري (جواهر الإكليل ـ 1 / 41 ) :
« عورة الحرة مع رجل أجنبي مسلم جميع جسدها غير الوجه والكفين ظهرًا وبطنًا ، فالوجه والكفان ليسا عورة ، فيجوز كشفهما للأجنبي ، وله نظرهما إن لم تُخشَ الفتنة . فإن خيفت الفتنة فقال ابن مرزوق : مشهور المذهب وجوب سترهما . وقال عياض : لا يجب سترهما ويجب غضُّ البصر عند الرؤية . وأما الأجنبي الكافر فجميع جسدها حتى وجهها وكفيها عورة بالنسبة له » اهـ .
8 ـ وقال الشيخ الدردير (جواهر الإكليل ـ 1 / 41 ) :
« عورة الحرة مع رجل أجنبي منها ، أي ليس بِمَحْرَمٍ لَهَا ،جميع البدن غير الوجه والكفين ؛ وأما هما فليسا بعورة وإن وجب سترهما لخوف فتنة» اهـ .
ـ وقد أوجب فقهاء المالكية على المرأة المُـحْرِمة بحج أو عمرة ستر وجهها عند وجود الرجال الأجانب .
9ـ قال الشيخ صالح عبد السميع الآبي الأزهري ( جواهر الإكليل
ـ 1 / 41) في أبواب الحج :
« حَرُمَ بسبب الإحرام بحج أو عمرة على المرأة لبس محيط بيدها كقُفَّاز ، وستر وجهٍ بأي ساتر ، وكذا بعضه على أحد القولين الآتيين ، إلا ما يتوقف عليه ستر رأسها ومقاصيصها الواجب ، إلا لقصد ستر عن أعين الرجال فلا يحرم ولو التصق الساتر بوجهها ، وحينئذٍ يجب عليها الستر إن علمت أو ظنت الافتتان بكشف وجهها ، لصيرورته عورة . فلا يقال : كيف تترك الواجب وهو كشف وجهها وتفعل المحَرّم وهو ستره لأجل أمر لا يُطلب منها ، إذ وجهها ليس عورة ؟ وقد علمتَ الجواب بأنه صار عورة بعلمِ أو ظنِّ الافتتان بكشفه »اهـ باختصار .
10ـ وقال الشيخ أحمد بن غنيم بن سالم النفراوي المالكي الأزهري ) الفواكه الدواني على رسالة أبي زيد القيرواني ـ 1 / 431) في باب الحج والعمرة :
« واعلم أن إحرام المرأة حرة أو أَمَةً في وجهها وكفيها . قال خليل : وحَرُمَ بالإحرام على المرأة لبس قُفَّاز ، وستر وجه إلا لستر بلا غرز ولا ربط ، فلا تلبس نحو القفاز ، وأما الخاتم فيجوز لها لبسه كسائر أنواع الحلي ، ولا تلبس نحو البرقع ، ولا اللثام إلا أن تكون ممن يخشى منها الفتنة ، فيجب عليها الستر بأن تسدل شيئًا على وجهها من غير غرز ولا ربط » . اهـ باختصار يسير .
11ـ وقال الشيخ الدردير (الشرح الكبير بهامش حاشية الدسوقي ـ 2 / 54، 55) :
« حَرُمَ بالإحرام بحج أو عمرة على المرأة ولو أَمَة ، أو صغيرة ، ستر وجه ، إلا لستر عن أعين الناس ، فلا يحرم ، بل يجب إن ظنت الفتنة ... » اهـ .
12ـ وقال الشيخ عبد الباقي الزرقاني ( شرح الزرقاني على مختصر خليل ـ 2 / 290 ـ 291) في أبواب الحج :
« حَرُمَ بالإحرام على المرأة لبس قُفَّاز ، وستر وجه ، إلا لستر عن الناس ، فلا يحرم عليها ستره ولو لاصقته له ، بل يجب إن علمت أو ظنت أنه يخشى منها الفتنة ، أو ينظر لها بقصد لذة ، وحينئذٍ فلا يقال : كيف تترك واجبًا وهو ترك الستر في الإحرام وتفعل محرمًا وهو الستر لأجل أمر لا يطلب منها ، إذ وجهها ليس بعورة ؟ فالجواب : أنه عورة يجب ستره فيما إذا علمت ، إلى آخر ما مر » اهـ وتمام العبارة :
« أنه عورة يجب ستره فيما إذا علمت أو ظنت أنه يخشى منها الفتنة ، أو ينظر لها بقصد لذة » اهـ .
*********************************
مذهب الشافعية
1 ـ قال الإمام النووي ـ رحمه الله تعالى ـ في المنهج :
« وعورة حُرَّة غير وجه وكفين« ... . قال الشيخ سليمان الجمل في حاشيته على الكتاب السابق عند قوله : « غير وجه وكفين : وهذه عورتها في الصلاة . وأما عورتها عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم ، فما بين السرة والركبة . وأما عند الرجال الأجانب فجميع البدن . وأما عند النساء الكافرات ، فقيل : جميع بدنها ، وقيل : ما عدا ما يبدو عند المهنة » اهـ ( حاشية الجمل على شرح المنهج ـ 1 / 411) .
2ـ وقال الشيخ شهاب الدين أحمد بن حجر الهيتمي الشافعي ( تحفة المحتاج بشرح المنهاج ـ 3 / 113 ـ 115 ، المطبوع بهامش حاشيتي الشرواني والعبادي ) في « فصل تكفين الميت وحمله وتوابعهما » : « يُكفن الميت بعد غسله بما لَهُ لُبْسُهُ حيًا ... ثم قال : وأقله ثوب يستر العورة المختلفة بالذكورة والأنوثة »اهـ .
وقد كتب الشيخ الشرواني ( حاشية الشرواني على تحفة المحتاج ـ 3 / 115) في حاشيته على تلك العبارة :
« فيجب على المرأة ما يستر بدنها إلا وجهها وكفيها ، حرَّة كانت أو أمة .
ووجوب سترهما في الحياة ليس لكونهما عورة ، بل لكون النظر إليهما يوقع في الفتنة غالبًا . شرح : م ر ــ أي شرح شمس الدين بن الرملي رحمهما الله تعالى .
3 ـ وذكر ابن قاسم العبادي في ( حاشيته على تحفة المحتاج ـ 3 / 115) نحو ذلك على العبارة نفسها ، فقال : « فيجب ما ستر من الأنثى ولو رقيقة ما عدا الوجه والكفين .
ووجوب سترهما في الحياة ليس لكونهما عورة ، بل لخوف الفتنة غالبًا . شرح : م ر » اهـ .
4ـ وقال الشيخ الشرواني :
« قال الزيادي في شرح المحرر : إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين .
وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد .وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة ـ ( حاشية الشرواني على تحفة المحتاج ـ 2 / 112) .
5 ـ وقال أيضًا :
« من تحققت من نظر أجنبي لها يلزمها ستر وجهها عنه ، وإلا كانت معينة له على حرام ، فتأثم » اهـ (حاشية الشرواني على تحفة المحتاج ـ 6 / 193) .
6 ــ وقال الشيخ زكريا الأنصاري : « وعورة الحرة ما سوى الوجه والكفين »
فكتب الشيخ الشرقاوي في حاشيته على هذه العبارة : « وعورة الحرة .. أي : في الصلاة . أما عورتها خارجها بالنسبة لنظر الأجنبي إليها فجميع بدنها حتى الوجه والكفين ولو عند أَمنِ الفتنة » اهـ (تحفة الطلاب بشرح تحرير تنقيح اللباب ـ 1 / 174) .
7 ــ وقال الشيخ محمد الزهري الغمراوي (أنوار المسالك شرح عمدة السالك وعدة الناسك ص 217 ) :
(( ويحرم أن ينظر الرجل إلى شيء من الأجنبية ، سواء كان وجهها ، أو شعرها ، أو ظفرها ، حرة كانت أو أمة ...))
ثم قال بعد أربعة أسطر :
(( فالأجنبية الحرة يحرم النظر إلى أي جزء منها ولو بلا شهوة ، وكذا اللمس والخلوة ؛ والأَمة على المعتمد مثلها ، ولا فرق فيها بين الجميلة وغيرها ...)) .
ثم قال في الصفحة التي تليها : ويحرم عليها ـ أي المرأة ـ كشف شيء من بدنها ، ولو وجهها وكفيها لمراهق أو لامرأة كافرة »اهـ .
8 ــ وقال الشيخ محمد بن عبد الله الجرداني (فتح العلام بشرح مرشد الأنام ( 1 / 34 ـ 35 ) :
« واعلم أن العورة قسمان : عورة في الصلاة . وعورة خارجها ، وكل منهما يجب ستره » اهـ .وبعد تفصيل طويل نافع قال تحت عنوان :
« عورة المرأة بالنسبة للرجال الأجانب ، وما فيه من كلام الأئمة ، وحكم كشف الوجه : « وبالنسبة لنظر الأجنبي إليها جميع بدنها بدون استثناء شيء منه أصلًا ..ثم قال : ويجب عليها أن تستتر عنه ، هذا هو المعتمد ، ونقل القاضي عياض المالكي عن العلماء : أنه لا يجب على المرأة ستر وجهها في طريقها وإنما ذلك سنة ، وعلى الرجال غض البصر عنها . وقيل : وهذا لا ينافي ما حكاه الإمام من اتفاق المسلمين على منع النساء بأن يخرجن سافرات الوجوه ، أي كاشفاتها ، لأن منعهن من ذلك ليس لوجوب الستر عليهن ، بل لأن فيه مصلحة عامة بسدِّ باب الفتنة . نعم : الوجه وجوبه عليها إذا علمت نظر أجنبي إليها ، لأن في بقاء الكشف إعانة على الحرام .
أفاد ذلك السيد أبو بكر في حاشيته على فتح المعين نقلًا عن فتح الجواد .
وضعَّفَ الرملي كلام القاضي ، وذكر أن الستر واجب لذاته . ثم قال : وحيث قيل بالجواز كره ، وقيل : خلاف الأَولى .وحيث قيل بالتحريم ــ وهو الراجح ــ حرم النظر إلى المُنَقَّبة التي لا يبين منها غير عينيها ومحاجرها ، أي ما دار بهما ، كما بحثه الأذرعي ، لا سيَّما إذا كانت جميلة » اهـ ( فتح العلام بشرح مرشد الأنام ـ 1 / 41 ـ 42 ) ، ونحوه في مغني المحتاج ( 3 / 129) .
9ـ وقال الشيخ تقي الدين الحصني (كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار ( 1 / 181 ) :
« ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب . وهذا كثير في مواضع الزيارة كبيت المقدس ، زاده الله شرفًا ، فليُجتنَب ذلك »اهـ .
10ـ وقال الشيخ محمد بن قاسم الغزي : « وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وهذه عورتها في الصلاة ، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها »اهـ (فتح القريب في شرح ألفاظ التقريب ( ص 19) .
11ـ وقد أجاز فقهاء الشافعية للمرأة المُـحْرِمة بالحج أو العمرة ستر وجهها عند وجود الرجال الأجانب ؛ بل أوجبه بعضهم .
قال العلامة الرملي الشهير بالشافعي الصغير :
« وللمرأة أن ترخي على وجهها ثوبًا متجافيًا عنه بنحو خشبة وإن لم يُحتَج لذلك لحرٍّ وفتنة .. ولا يبعد جواز الستر مع الفدية حيث تعيَّن طريقًا لدفع نظر مُحرَّم .
وقد كتب الشبراملسي في حاشيته عليه :
« قوله : ولا يبعد جواز الستر أي : بل ينبغي وجوبه ، ولا ينافيه التعبير بالجواز ، لأنه جوازٌ بعد مَنع ، فيَصدُق بالواجب » اهـ (نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج ، ومعه حاشية الشبراملسي ( 3 / 333) .
12ـ وقال الخطيب الشربيني : « وإذا أرادت المرأة ستر وجهها عن الناس أَرْخَت عليه ما يستره بنحو ثوب متجافٍ عنه بنحو خشبة ، بحيث لا يقع على البشرة .
« وقد كتب البجيرمي في حاشيته على هذا القول :
« فيه إشارة إلى وجوب كشف وجهها ولو بحضرة الأجانب ومع خوف الفتنة ، ويجب عليهم غض البصر ، وبه قال بعضهم . والمتجه وجوب الستر عليها بما لا يمسُّه » اهـ (حاشية البجيرمي على الخطيب ( 2 / 391) .
13 ــ ونقل الشيخ محمد زكريا الكاندهلوي ( أوجز المسالك إلى موطأ مالك ـ 6 / 197 ) نقلًا عن : شرح الإقناع .
في « باب تخمير المحرم وجهه » عن « شرح الإقناع » قوله : « وإذا أرادت » ستر وجهها عن الناس أَرْخَت عليه ما يستره بنحو خشبة ، بحيث لا يقع على البشرة . وفي حاشيةِ قوله : « إذا أرادت » ، فيه إشارة إلى وجوب كشف وجهها ــ أي في حالة الإحرام ــ ولو بحضرة الأجانب ، ومع خوف الفتنة ، ويجب عليهم غض البصر ، وبه قال بعضهم .
والمتجه في هذه وجوب الستر عليها بما لا يمسُّه »
**********************************
مذهب الحنابلة
1- قال الإمام أحمد بن حنبل ـ رحمه الله تعالى ـ :
« كل شيء منها ــ أي من المرأة الحرة ــ عورة حتى الظفر » اهـ (زاد المسير في علم التفسير ـ 6 / 31 ) .
2ـ وقال الشيخ يوسف بن عبد الهادي المقدسي الحنبلي في ( مغني ذوي الأفهام عن الكتب الكثيرة في الأحكام ـ ص 120 ) :
« ولا يجوز للرجل النظر إلى أجنبية ، إلا العجوز الكبيرة التي لا تشتهى مثلها ، والصغيرة التي ليست محلًا للشهوة ، ويجب عليه صرف نظره عنها . ويجب عليها ستر وجهها إذا برزت » اهـ .
3ـ وقال الشيخ منصور بن يونس بن إدريس البهوتي (كشاف القناع عن متن الإقناع ـ 1 / 309) ) :
« والحرة البالغة كلها عورة في الصلاة حتى ظفرها وشعرها » لقول النبي صلى الله عليه وسلم : « المرأة عورة » رواه الترمذي ، وقال : حسن صحيح . وعن أم سلمة أنها سألت النبي صلى الله عليه وسلم : « أتصلي المرأة في درع وخمار وليس عليها إزار ؟ قال : إذا كان الدرع سابغًا يغطي ظهور قدميها » رواه أبو داود ، وصحح عبد الحق وغيره أنه موقوف على أم سلمة . « إلا وجهها » :
لا خلاف في المذهب أنه يجوز للمرأة الحرة كشف وجهها في الصلاة . ذكره في المغني وغيره . « قال جمع : وكفيها » واختاره المجد ، وجزم به في العمدة والوجيز لقوله تعالى : ? وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ? [ النور : 31 ] قال ابن عباس وعائشة : وجهها وكفيها . رواه البيهقي ، وفيه ضعف ، وخالفهما ابن مسعود . « وهما » أي : الكفان . « والوجه » من الحرة البالغة « عورة خارجها » أي الصلاة « باعتبار النظر كبقية بدنها » كما تقدم من قوله صلى الله عليه وسلم : « المرأة عورة » اهـ .
4ـ وقال الشيخ عبد الله بن عبد العزيز العنقري (الروض المربع شرح زاد المستقنع للبهوتي ، مع حاشية العنقري ـ 1 / 140 ) :
« وكل الحرة البالغة عورة حتى ذوائبها ، صرح به في الرعاية . اهـ إلا وجهها فليس عورة في الصلاة . وأما خارجها فكلها عورة حتى وجهها بالنسبة إلى الرجل والخنثى وبالنسبة إلى مثلها عورتها ما بين السرة إلى الركبة » اهـ .
5ـ وقال العلامة ابن مفلح الحنبلي ـ رحمه الله تعالى ـ ( الفروع ( 1 / 601 ـ 602):
« قال أحمد : ولا تبدي زينتها إلا لمن في الآية. ونقل أبو طالب : « ظفرها عورة ، فإذا خرجت فلا تبين شيئًا ، ولا خُفَّها ، فإنه يصف القدم ، وأحبُّ إليَّ أن تجعل لكـمّها زرًا عند يدها » . اختار القاضي قول من قال : المراد بــ ? مَا ظَهَرَ ? من الزينة : الثياب ، لقول ابن مسعود وغيره ، لا قول من فسَّرها ببعض الحلي ، أو ببعضها ، فإنها الخفية ، قال : وقد نصَّ عليه أحمد فقال : الزينة الظاهرة : الثياب ، وكل شيء منها عورة حتى الظفر » اهـ .
6ـ وقال الشيخ يوسف مرعي (غاية المنتهى في الجمع بين الإقناع والمنتهى ـ 3 / 7 ) :
« وحرم في غير ما مرَّ ــ أي من نظر الخاطب إلى مخطوبته ، ونظر الزوج إلى زوجته ، وغير ذلك ــ قصدُ نظرِ أجنبية ، حتى شعر متصل لا بائن . قال أحمد : ظفرها عورة ، فإذا خرجت فلا تبين شيئًا ، ولا خُفَّها فإنه يصف القدم . وأُحبّ أن تجعل لكمّها زرًا عند يدها » اهـ .
7ـ وقد أجاز فقهاء الحنابلة للمرأة المُـحْرِمة بحج أو عمرة ستر وجهها عند مرور الرجال الأجانب قريبًا منها .
قال الشيخ ابن مفلح الحنبلي (المبدع في شرح المقنع ـ 3 / 168 ) ، وانظر أيضا : الروض المربع ( 1 / 484) :
« والمرأة إحرامها في وجهها » فيحرم عليها تغطيته ببرقع ، أو نقاب ، أو غيره ، لما روى ابن عمر مرفوعًا : « لا تنتقب المرأة المحرمة ، ولا تلبس القُفَّازين » رواه البخاري . وقال ابن عمر : إحرام المرأة في وجهها ، وإحرام الرجل في رأسه . رواه الدارقطني بــإسناد جيد .. فإن احتاجت إلى ستر وجهها لمرور الرجال قريبًا منها جاز أن تُسدل الثوب فوق رأسها على وجهها ، لفعل عائشة . رواه أحمد وأبو داود وغيرهما . وشَرَط القاضي في الساتر أن لا يصيب بشرتها ، فإن أصابها ثم ارتفع بسرعة فلا شيء عليها ، وإلَّا فَدَت لاستدامة الستر ، وردَّه المؤلف بأن هذا الشرط ليس عند أحمد ، ولا هو من الخبر ، بل الظاهر منه خلافه ، فإنه لا يكاد يسلم المسدول من إصابة البشرة ، فلو كان شرطًا لبُيِّن »اهـ باختصار .
8ـ وقال الشيخ إبراهيم ضويان (منار السبيل ( 1 / 246 ـ 247 ) أثناء كلامه عن محظورات الإحرام : « ... وتغطية الوجه من الأنثى ، لكن تُسدل على وجهها لحاجة ، لقوله صلى الله عليه وسلم : « لا تنتقب المرأة المحرمة ، ولا تلبس القفازين » رواه أحمد والبخاري قال في الشرح : فيحرم تغطيته . لا نعلم فيه خلافًا إلا ماروي عن أسماء أنها تغطيه ، فيُحمَلُ على السدل ، فلا يكون فيه اختلاف . فإن احتاجت لتغطيته لمرور الرجال قريبًا منها سدلت الثوب من فوق رأسها ، لا نعلم فيه خلافًا . اهـ لحديث عائشة : « كان الركبان يمرون بنا ونحن محرمات مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فإذا حاذَونا سدلت إحدانا جلبابها على وجهها ، فإذا جاوزونا كشفناه » . رواه أبو داود والأثرم »
Raden Mas LeyehLeyeh
Coba cek yang punya Bujairomy atau Hasyiyatul jamal juz. 4 (seperti yang dimaksud ust. Abu), semoga ada kalimat sepert ini juga,
و عورة حرة غير وجه وكفين ظهرا وبطنا الى الكوعين لقوله تعالى ولا يبدين زينتهن الا ما ظهر منها , وهو معسر بالوجه والكفين وانما لم يكونا عورة , لان الحاجة يدعوا الى ابرازهما
Copyright © www.piss-ktb.com 2017
____________
Dari Aplikasi: Tanya Jawab Islam
Download:
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.zam.pisslite

Hukum wanita Memakai Celana

0053. Hukum Wanita Memakai Celana
PERTANYAAN :
Cut Zavheera Berlindung PadaNya
Assalamualaikum ustadz...benarkah muslimah diharamkan memakai celana panjang&hrs selalu memakai rok/gamis?karena jika pakai celana panjang dikatakan menyerupai laki-laki (terlarang bagi perempuan yang menyerupai laki-laki begitu juga sebaliknya). Mhn penjelasannya. Terimakasih ^_^
JAWABAN :
Masaji Antoro
Waalaikumsalam...... Melihat bentuk celananya terlebih dahulu :
•Bila celana tersebut model celana yang khusus/kebanyakan di pakai pada kalangan wanita maka tidak terjadi tasyabbuh (penyerupaan) dengan laki-laki yang di haramkan.
•Bila celana yang memang khusus di pakai untuk pria/kebanyakan pria maka berarti terjadi tasyabbuh (penyerupaan) dengan laki-laki yang di haramkan.
•Bila bentuk celana tersebut masih sama umumnya dipakai oleh lelaki dan wanita juga masih tidak di katakan tasyabbuh
(مسألة : ي) : ضابط التشبه المحرم من تشبه الرجال بالنساء وعكسه ما ذكروه في الفتح والتحفة والإمداد وشن الغارة ، وتبعه الرملي في النهاية هو أن يتزيا أحدهما بما يختص بالآخر ، أو يغلب اختصاصه به في ذلك المحل الذي هما فيه.
Batasan penyerupaan yang di haramkan pada kasus penyerupaan orang laki-laki pada perempuan dan sebaliknya adalah apa yang diterangkan oleh Ulama Fiqh dalam kitab Fath aljawaad, Tuhfah, Imdaad dan kitab syun alghooroh. Imam Romli juga mengikutinya dalam kitab Annihaayah, Batasannya adalah : "bila salah satu dari lelaki atau wanita tersebut berhias memakai barang yang dikhususkan untuk lainnya atau pakaian yang jamak di gunakan pada tempat tinggal lelaki dan wanita tersebut". [ Bughyah Almustarsyidiin 604 ].

Macam-macam unsur tasyabbuh (penyerupaan wanita pada pria dan sebaliknya)

وَأَمَّا بِالْكَسْرِ فَالْمُتَكَسِّرُ الْمُتَلَيِّنُ فِي أَعْضَائِهِ وَكَلاَمِهِ وَخَلْقِهِ . وَيُفْهَمُ مِنَ الْقَلْيُوبِيِّ أَنَّهُ لاَ فَرْقَ بَيْنَ الْفَتْحِ وَالْكَسْرِ فِي الْمَعْنَى ، فَهُوَ عِنْدَهُ الْمُتَشَبِّهُ بِحَرَكَاتِ النِّسَاءِ فِي اللِّبَاسِ وَالزِّينَةِ الَّتِي تَخْتَصُّ بِالنِّسَاءِ ، وَكَذَلِكَ فِي الْكَلاَمِ وَالْمَشْيِ ، لِمَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَال : لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَال وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ (1) وَفِي رِوَايَةٍ أُخْرَى : لَعَنَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَال بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَال (2) قَال ابْنُ حَجَرٍ فِي الْفَتْحِ : وَالنَّهْيُ مُخْتَصٌّ بِمَنْ تَعَمَّدَ ذَلِكَ ، وَأَمَّا مَنْ كَانَ أَصْل خِلْقَتِهِ ، فَإِنَّمَا يُؤْمَرُ بِتَكَلُّفِ تَرْكِهِ وَالإِْدْمَانِ (3) عَلَى ذَلِكَ بِالتَّدْرِيجِ ، فَإِنْ لَمْ يَفْعَل وَتَمَادَى دَخَلَهُ الذَّمُّ ، وَلاَ سِيَّمَا إِذَا بَدَا مِنْهُ مَا يَدُل عَلَى الرِّضَا بِهِ

1. Dalam GAYA
Bertingkah laku seperti wanita. Maksud bertingkah laku seperti wanita adalah menyerupai wanita dalam gaya, berbicara, cara berjalan, pakaian, perhiasan yang umumnya di lakukan/di pakai oleh wanita, pelarangan ini bertendensi pada hadits riwayat Ibnu Abbas Ra :
”Nabi Muhammad SAW melaknat orang laki-laki yang bertingkah laku seperti wanita dan para wanita yang bertingkah laku seperti pria” (HR. Bukhori)
Dalam riwayat lain :
”Nabi Muhammad SAW melaknat orang laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai pria” (HR. Bukhori)
Imam Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fath Albaari “Larangan ini berlaku bagi orang yang sengaja bertingkah laku semacam itu, sedang bagi orang yang memang dari penciptaannya memang demikian maka tuntutan kewajibannya adalah merobah sedikit demi sedikit, bila orang tersebut tidak mau berusaha merubahnya dengan pelan-pelan apalagi terkesan dalam dirinya tumbuh rela dengan keberadaannya maka dirinya berdosa. [ Mausuu’ah alFiqhiyyah alKuwaitiyyah XI/63 ].

2. Dalam Pakaian dan perhiasan
Sama dalam keterangan di atas, dan yang ada di dokumen

(مسألة : ي) : ضابط التشبه المحرم من تشبه الرجال بالنساء وعكسه ما ذكروه في الفتح والتحفة والإمداد وشن الغارة ، وتبعه الرملي في النهاية هو أن يتزيا أحدهما بما يختص بالآخر ، أو يغلب اختصاصه به في ذلك المحل الذي هما فيه.

Masalah : Batasan penyerupaan yang di haramkan pada kasus penyerupaan orang laki-laki pada perempuan dan sebaliknya adalah apa yang diterangkan oleh Ulama Fiqh dalam kitab Fath aljawaad, Tuhfah, Imdaad dan kitab syun alghooroh. Imam Romli juga mengikutinya dalam kitab Annihaayah, Batasannya adalah "bila salah satu dari lelaki atau wanita tersebut berhias memakai barang yang dikhususkan untuk lainnya atau pakaian yang jamak di gunakan pada tempat tinggal lelaki dan wanita tersebut". [ Bughyah Almustarsyidiin 604 ].

Yang menjadi pertimbangan dalam masalah bisa di katakan pakaian/perhiasan itu tasyabbuh atau tidak adalah KEBIASAAN TEMPAT DIMANA DIA BERDOMISILI BUKAN TEMPAT LAIN
Yupiter Jet
Menambahkan sedikit Masaji Antoro mudah-mudahan nyambung...

روى أحمد والطبرانى أن عبد اللّه بن عمرو بن العاص رضى اللّه عنه رأى أم سعيد بنت أبى جهل متقلدة سيفا وهى تمشى مشية الرجال فقال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول "ليس منا من تشبه بالرجال من النساء، ولا من تشبه من النساء بالرجال " .
يؤخذ من هذه الأحاديث تحريم تشبه أحد من الجنسين بالجنس الآخر،

ومحل الحرمة إذا تحقق أمران :
أولهما : أن يكون التشبه مقصودا، بأن يتعمد الرجل فعل ما يكون من شأن النساء وأن تتعمد المرأة فعل ما يكون من شأن الرجال ، فإن هذا القصد فيه تمييع للخصائص أو إضعاف لها ، والواجب أن تكون خصائص كل جنس فيه قوية، فذلك تقسيم اللّه لخلقه وتنسيقه فيما أودع فى كل منهما من خصائص لمصلحة المجموعة البشرية ،

أما مجرد التوافق بدون قصد وتعمد فلا حرج فيه ، فالناس بأجناسها تتفق فى أمور مشتركة كاستعمال أدوات الأكل وركوب الطائرات وما إلى ذلك .
وهذا ما يعنيه لفظ "تشبه " ففيه عمل وقصد، أما إذا انتفى القصد فيكون تشابها لا تشبُّها، ولا حرج فى التشابه فيما لم يقصد .

والأمر الثانى :أن يكون التشبه فى شيء هو من خصائص الجنس الآخر، والذى يحدد ذلك إما أن يكون هو الدين ، وإما أن يكون هو الطبع نفسه ، أى الجبلة التى خلق عليها الإنسان ، وإما أن يكون هو العرف والعادة، وكثير من التشبه يكون فى ذلك فى أول الأمر، حيث يوجد القصد والتعمد والإعجاب ، ثم بعد ذلك يصير شيئا مألوفا لا شذوذ فيه ، ولا يعد تشبها مذموما

فتاوى الازهر
Wallaahu A'lamu Bis Showaab
Copyright © www.piss-ktb.com 2017
____________
Dari Aplikasi: Tanya Jawab Islam
Download:
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.zam.pisslite

Jimak dari Belakang

3934. POSISI JIMA' YANG BENAR
PERTANYAAN :

> Kebo Mercoet
Assalamu'alaikum...Maaf sebelum'y kalo pertanyaan ini terlalu fulgar...Pertanyaannya begini...ketika suami istri melakukan jimak, bolehkah posisi sang istri berada di atas dan suami di bawah....Syukron.
JAWABAN :

> Mas Hamzah
wa alaikumus salaam boleh, yang penting masuknya ke dalam farji istri. Wallahu a'lam. (Di)
- kitab tafsir al qurtuby (3/88)

الثانية : هذه الأحاديث نص في إباحة الحال والهيئات كلها إذا كان الوطء في موضع الحرث ، أي كيف شئتم من خلف ومن قدام وباركة ومستلقية ومضطجعة ، فأما الإتيان في غير المأتى فما كان مباحا ، ولا يباح!

LINK ASAL :
> http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/929798023709673/
> http://www.facebook.com/notes/932409523448523
Copyright © www.piss-ktb.com 2017
____________
Dari Aplikasi: Tanya Jawab Islam
Download:
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.zam.pisslite

Air Mani (asal)

2241. Asal Air Mani / Sperma

PERTANYAAN :


Konfirmasi-Donk'Skrg OrangyangMungkin'Anda-kenal DanHalaman-yang Yakin'andaSukai
Assalamu'alaiku­m. Tanya' lagi OM + Mbah - Yai + Nyai - Gus+ Nenk Dari apakah Mani Di Ciptakan...?
JAWABAN :
Masaji Antoro
Wa'alaikumsalam
وفى قوت القلوب اصل المنى هو الدم يتصاعد فى خرزات الصلب وهناك مسكنه فتنضجه الحرارة فيستحيل أبيض فاذا امتلأت منه خرزات الصلب وهو الفقار طلب الخروج من مسلكه وهو عرقان متصلان الى الفرج منهما ينزل المنى
Dalam Kitab Quut al-Quluub disebutkan sperma berasal dari darah yang naik pada rusuk kiri disanalah kemudian ia menetap, akibat suhu yang panas menjadikannya berubah berwarna putih, saat sperma yang berada dirusuk tersebut telah penuh maka ia menuntut untuk bisa keluar dari salurannya yaitu dua otot yang bersambung dengan alat kemaluan, dari sanalah akhirnya sperma meluar. [ Ruuh al-Bayaan X17/168 ]. Wallaahu A’lam.

LINK DISKUSI :
> http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/555394704483342/
Copyright © www.piss-ktb.com 2017

____________
Dari Aplikasi: Tanya Jawab Islam
Download:
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.zam.pisslite

Menelan Sperma

0102. HUKUM MENELAN SPERMA / MANI
PERTANYAAN :
Cikong Mesigit
السلام عليكم.. sebelumnya mohon maaf mungkin karena agak pornografi, tapi hukum itu jelas jadi harus dijelaskan juga. Pertanyaan inbox dari salah seorang cewek : bagaimana hukum menelan air mani ??? Saya tidak bisa menajawab jadi dilempar kesini, lanjut....pencerahan.
JAWABAN :
Masaji Antoro
Waalaikumsalam wr wb. Hukumnya Khilaf, pendapat yang mashur TIDAK HALAL menelan sperma / mani.
(فرع)هل يحل اكل المنى الطاهر فيه وجهان الصحيح المشهور أنه لا يحل لانه مستخبث قال الله تعالي (ويحرم عليهم الخبائث) والثانى يجوز وهو قول الشيخ أبي زيد المروزى لانه طاهر لا ضرر فيه
(CABANG) : "Bolehkah menelan mani yang suci? Ada 2 pendapat, dan yang benar dan masyhur bahwasanya itu tidak halal karena mustakhbats (menjijikkan) seperti Firman Allah SWT  : [ Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. QS. 7:157 ]. Sedang menurut AsSyaikh Abi Zaid alMarwazy menghukumi boleh karena mani adalah barang suci dan tidak ada DHOROR (bahaya) di dalamnya". (Al-Majmu' alaa Syarh Almuhadzzab II/556).
Neil Elmuna
Pada kitab At-TaQriirootus Sadiidah karya Sayyid hasan alkaaf hal 128 dijelaskan ada 3 pendapat hukum mani (hukmul maniyyi fiihi tsalaatsatu aQwaal) :
1. maniyyu jamii'il hayawaanaati Thoohirun illamaniyyal kalbi walkhinziiri wa far'i ahadihimaa.. wahuwa Qoulul imami an-Nawawiy.. wahuwal mu'tamadu..
2. maniyyul aadamiyyi Thoohirun wa maniyyu ghoirihi najisun .... wahuwa Qoulul imaami arRoofi'iy
3. maniyyul aadamiyyi wa maniyyu kulli hayawaanin ma-kuulin Thoohirun ... wa maniyyu ghoiril ma-kuuli najisun.
Ta'riifu annajaasati lughotan : " kullu mustaQdzarin", sedangkan wa syar'an bil haddi : " kullumustaQdzarin yamna'u shihhatash Sholaati haitsu laa murokhkhisho". Ta'riifuhuu bil 'addi [ adat, menurut watak normal manusia ] :" kullun min jamii'i maa yu'addu mustaQdzaron 'indal 'aadati.. wahiya 1. albaulu 2. alghooithu 3. addamu 4. alQoi-u 5. alwadiyu 6. almadziyyu 7. alkhomru 8.annabiidzu 9.kullu muskirin maa-i'in 10.alkalbu 11. alkhinziiru 12. far'u ahadi kalbi awil khinziiri 13. almaitatu 14. sya'ru almaitati 15. 'azhmu almaitati 16. labanu maa la yu-kalu lahmuhu 16. sya'ru ghoiril ma-kuuli idza infashola fii chaali chayatihi 17. almaa-u as-saa-ilu idzaa khoroja minal ma'iddati..
Dari semua uraian diatas dipastikan bahwa air mani manusia itu suci dan tidak termasuk dalam kategori najis baik menurut definisi syara' ataupun menurut perhitungan benda2 yang dinilai najis oleh ketentuan fiQih, namun air mani itu dinilai dari dzatnya memang suci namun soal boleh "ditelan"  [ dikonsumsi ] atau tidak ? hmm ?.
Copyright © www.piss-ktb.com 2017

____________
Dari Aplikasi: Tanya Jawab Islam
Download:
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.zam.pisslite

Oral sex dengan Pasangan



Oral seks adalah aktivitas seksual yang menjadikan alat kelamin lelaki dan wanita sebagai obyek. Baik itu dengan cara mencium, mengecup, menjilat, mengulum, atau mempermainkan alat kelamin pasangannya. Baik dilakukan sebagai aktivitas pemanasan (foreplay) sebelum bersetubuh maupun sebagai sarana seks tersendiri untuk mencapai orgasme.

Dalam istilah kontemporer, oral seks dibahasakan dengan

الجنس الفموي/الجنس الشفوي/الجماع الفموي

Seksual / الجنس

Oral seks berupa dua macam, yakni aktivitas menjilat kelamin wanita oleh lelaki (Cunnilingus) dan aktivitas menghisap kelamin lelaki oleh wanita (Fellatio).

Mengenai Cunnilingus (oral seks pada kelamin wanita) disebutkan secara sharih keterangan kebolehannya oleh sejumlah ulama:

- Zainuddin al-Malaibari:

( تتمة ) يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها

"Boleh bagi suami menikmati semua jenis aktivitas seks dari istrinya selain pada lingkaran duburnya, meskipun dilakukan dengan menghisap klitorisnya" (Fathul Mu'in, 3/340).

- Al-Bahuthi:

قال القاضي يجوز تقبيل فرج المرأة قبل الجماع

"Qadhi Ibnu Muflih berkata: Boleh mencium kelamin isterinya sebelum bersetubuh" (Kasysyaful Qana', 5/17).

- Al-Haththab:

وقد روي عن مالك أنه قال لا بأس أن ينظر إلى الفرج في حال الجماع وزاد في رواية ويلحسه بلسانه

"Disebutkan riwayat dari Imam Malik bahwasanya beliau berkata: Tidak apa-apa melihat kemaluan saat bersetubuh. Ditambahkan dalam riwayat lain: Serta menjilat kemaluan tersebut dengan lidahnya." (Mawahib al-Jalil, 5/23).

- Al-Qurthubi:

وقد قال أصبغ من علمائنا : يجوز له أن يلحسه بلسانه

"Ashbagh salah satu ulama [malikiyah] kami berkata: Boleh baginya [suami] menjilatnya [kemaluan istrinya] dengan lidahnya." (Tafsir Al-Qurthubi, 12/232).

Sedangkan mengenai Fellatio (oral seks pada kelamin lelaki) disebutkan secara mafhum dari dhabith umum kebolehan semua aktivitas seksual serta pendekatan-pendekatan tekstual dalam beragam literatur klasik:

- Dalam Fathul Mu'in tentang dhabith umum tamaththu':

( تتمة ) يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها

"Boleh bagi suami menikmati semua jenis aktivitas seks dari istrinya selain pada lingkaran duburnya, meskipun dilakukan dengan menghisap klitorisnya" (Fathul Mu'in, 3/340)

Mahallu syahid: 'menikmati semua jenis aktivitas seks dari istrinya.'

- Dalam Tafsir ath-Thabari tentang obyek umum tamaththtu' dzakar:

حدثنا تميم قال، أخبرنا إسحاق، عن شريك، عن ليث قال: تذاكرنا عند مجاهد الرجل يلاعب امرأته وهي حائض، قال: اطعن بذكرك حيث شئت فيما بين الفخذين والأليتين والسرة، ما لم يكن في الدبر أو الحيض.

"Telah menceritakan kepada kami Tamim, telah mengkhabarkan kepada kami Ishaq, dari Syarik, dari Laits berkata: Kami di sisi Mujahid membicarakan tentang seorang lelaki yang mencumbu istrinya saat Haid. Mujahid berkata; "Tusukkan alat kelaminmu di manapun yang engkau kehendaki; di antara dua paha, dua pantat, dan pusar. Selama tidak di anus atau saat datang haidh." (Tasfir ath-Thabari, 4/380)

Mahallu syahid: 'Tusukkan alat kelaminmu di manapun yang engkau kehendaki.'

- Dalam Hasyiyah ad-Dasuqi tentang hukum asal mubahnya tubuh istri selama tidak ada ketentuan khusus nash:

قَوْلُهُ ( فَيَجُوزُ التَّمَتُّعُ بِظَاهِرِهِ ) أَيْ وَلَوْ بِوَضْعِ الذَّكَرِ عليه وَالْمُرَادُ بِظَاهِرِهِ فَمُهُ من خَارِجٍ وما ذَكَرَهُ الشَّارِحُ من جَوَازِ التَّمَتُّعِ بِظَاهِرِ الدُّبُرِ هو الذي ذَكَرَهُ الْبُرْزُلِيُّ قَائِلًا وَوَجْهُهُ عِنْدِي أَنَّهُ كَسَائِرِ جَسَدِ الْمَرْأَةِ وَجَمِيعُهُ مُبَاحٌ إذْ لم يَرِدْ ما يَخُصُّ بَعْضُهُ عن بَعْضٍ بِخِلَافِ بَاطِنِهِ اه

"[Diperbolehkan mencumbui pada luar dubur] yakni walau dengan menaruh kemaluan di atasnya. Yang dimaksud dengan luar dubur yaitu mulut dubur dari arah luar tubuh. Pendapat Pensyarah tentang kebolehan mencumbui luar dubur adalah sebagaimana yang dikatakan oleh al-Burzuli, dia berkata: 'Konsepnya, menurutku, bagian luar dubur adalah sebagaimana keseluruhan bagian tubuh wanita, kesemua tubuh wanita diperbolehkan mengingat tidak dijumpai ketentuan khusus nash pada bagian tubuh wanita tertentu, berbeda dengan bagian dalam dubur.' Demikian perkataan al-Burzuli. " (Hasyiyah ad-Dasuqi, 2/216)

Mahallu syahid: 'Kesemua tubuh wanita diperbolehkan mengingat tidak dijumpai ketentuan khusus nash pada bagian tubuh wanita tertentu'.

- Dalam al-Inshaf tentang mencium dzakar:

الثانية: ليس لها استدخال ذكر زوجها وهو نائم بلا إذنه ولها لمسه وتقبيله بشهوة

"Tidak berhak bagi istri memasukkan alat kelamin suaminya tanpa seijinnya sementara suami dalam keadaan tidur, namun istri boleh merabanya dan menciumnya dengan syahwat" (al-Inshaf, 8/27)

- Dalam al-Mughni li Ibni Qudamah tentang kesunahan foreplay:

وقد روي عن عمر بن عبد العزيز عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال :لا تواقعها إلا وقد أتاها من الشهوة مثل ما أتاك لكيلا تسبقها بالفراغ

"Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz, dari Nabi SAW bahwasanya beliau berkata: Janganlah engkau menyetubuhinya kecuali dia telah bangkit syahwatnya sebagaimana dirimu, agar engkau tidak mendahuluinya dalam klimaks." (al-Mughni li Ibnu Qudamah, 8/136)

PERBANDINGAN

Berangkat dari kaidah umum para ulama klasik, selanjutnya oral seks dibahas juga oleh sejumlah ulama kontemporer:

- Ali Jum'ah, Mufti Mesir:

السؤال سألني أحدهم عن الحكم الشرعي عن مسألة مص، أو لعق الرجل لفرج المرأة، أو العكس - أجلكم الله - هل هو حرام؟

الجواب يجوز لكل من الزوجين الاستمتاع من الآخر بكل شئ ما خلا الدبر والحيضة للأحاديث الواردة، انظر ما رواه البخاري (302)، ومسلم (293) وفي الحيض نص قرآني انظر سورة البقرة الآية (222).

"Pertanyaan: Seseorang bertanya kepadaku tentang masalah menghisap, atau menelannya lelaki terhadap alat kelamin wanita atau sebaliknya -semoga Allah mengagungkanmu- apakah hal itu diharamkan?

Jawaban: Diperbolehkan bagi suami-istri untuk mencumbui satu sama lain dengan apapun selain pada dubur serta dalam keadaan haidh, berlandaskan sejumlah hadits, lihatlah riwayat Bukhari no. 302, riwayat Muslim no. 293, dan al-Baqarah ayat 222."

- Said Ramadhan al-Buthi, Mufti Suriah:

ما المحرَّمات في الاستمتاع الجنسي بين الزوجين؟

العلاقات الجنسية واسعة النطاق ، ولم يحرم إلا أمورًا ضيقة ، وفي هذه النظرة التوسعية دعوة لكل من الرجل والمرأة للاكتفاء بالمعاشرة المباحة ، وترك كل علاقة محرمة ،

والمحرم في العلاقة الجنسية بين الزوجين هو الجماع وقت الحيض ، والجماع في الدبر ، وكل استمتاع ثبت ضرره ،لأنه لا ضرر ولا ضرار، وماسوى ذلك فيرجع للعرف وللزوجين على أنه لا يجب إكراه أحد الزوجين للآخر في فعل شيء

إن الحقَّ المتبادل بين الزوجين ليس خصوص (الجماع) بل عموم ما سمّاه القرآن (الاستمتاع)، وهذا يعني أن لكلٍّ من الزوجين أن يذهب في الاستمتاع بزوجه المذهب الذي يريد، من جماع وغيره.ولا يستثنى من ذلك إلا ثلاثة أمور:

1ـ الجماع أيام الطَّمث..

2ـ الجماع في الدبر، أي الإيلاج في الشرج..

3ـ المداعبات التي ثبت أنها تضرُّ أحد الزوجين أو كليهما، بشهادة أصحاب الاختصاص أي الأطباء.

أما ما وراء هذه الأمور الثلاثة المحرَّمة، فباقٍ على أصل الإباحة الشرعية...

"Apakah yang diharamkan dari percumbuan seksual di antara suami-istri ?

Hubungan seksual luas untuk dibicarakan. Tidak diharamkan kecuali pada beberapa hal saja. Dan dalam bahasan yang luas ini terkandung ajakan bagi suami-istri untuk mencukupkan diri pada pergaulan yang mubah serta meninggalkan hubungan yang diharamkan. Yang diharamkan dari hubungan seksual antara suami-istri yaitu bersetubuh di saat haidh, bersetubuh pada dubur, serta setiap percumbuan yang menimbulkan dampak buruk, sebab ada kaidah 'la dharara wa la dhirar'. Selain yang telah disebutkan maka dikembalikan hukumnya pada 'urf dan suami-istri, mempertimbangkan bahwa tidak diwajibkan untuk memaksa pasangannya melakukan hal itu."

"Sesungguhnyalah, hak bersama antara suami-istri tidak sebatas pada konteks bersetubuh melainkan terlaku umum pada apa yang dibahasakan al-Qur'an dengan itimta' (percumbuan). Begitulah, yakni tiap suami-istri berhak memilih percumbuan dengan pasangannya dengan pilihan apapun yang ia kehendaki. Dalam konteks persetubuhan ataupun lainnya. Tidak ada pengecualian dalam hal ini selain pada tiga perkara:

1. Bersetubuh saat haidh.

2. Bersetubuh pada dubur, yakni penetrasi pada anus.

3. Aktivitas percumbuan yang menimbulkan dampak buruk bagi salah satu atau keduanya, lewat persaksian pakar di bidangnya (dokter).

Sedangkan selain tiga hal yang diharamkan tersebut maka statusnya tetap pada hukum asal kebolehan syariat."

JAWABAN-JAWABAN

Menengok pada dinamika opini ilmiah masa kini tentang oral seks, maka terdapat sejumlah pendapat berseberangan yang masih perlu ditinjau ulang. Berikut akan disajikan sejumlah wacana tersebut beserta jawabannya:

Wacana pertama, oral seks adalah tradisi Romawi Kuno dan India kuno. Dengan demikian terjadi tasyabbuh bil kuffar yang diharamkan.

Jawaban : Tidak semua tasyabbuh itu haram. Ibnu Hajar al-'Asqalani menggarisbawahi bahwa tasyabbuh yang diharamkan adalah selain tasyabbuh dalam urusan kebaikan. Sementara oral seks adalah bagian dari pemanasan seksual yang dianjurkan.

- Dalam Fathul Bari:

وقال الشيخ أبو محمد بن أبي جمرة نفع الله به ما ملخصه ظاهر اللفظ الزجر عن التشبه في كل شيء لكن عرف من الأدلة الأخرى أن المراد التشبه في الزي وبعض الصفات والحركات ونحوها لا التشبه في أمور الخير

"Syekh Abu Muhammad bin Abi Hamzah -semoga Allah memberi kemanfaatan padanya- berkata: Kesimpulan dari dzahir teks nash adalah larangan menyerupai pada setiap sesuatu (dari orang kafir). Akan tetapi dalil-dalil lainnya menunjukkan yang dimaksud menyerupai adalah menyerupai dalam atribut, sebagian sifat-sifat, perilaku, dan semacamnya. Bukan menyerupai dalam urusan kebaikan." (Fathul Bari, 13/333)

- Dalam al-Mughni li Ibni Qudamah:

وقد روي عن عمر بن عبد العزيز عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال :لا تواقعها إلا وقد أتاها من الشهوة مثل ما أتاك لكيلا تسبقها بالفراغ

"Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz, dari Nabi SAW bahwasanya beliau berkata: Janganlah engkau menyetubuhinya kecuali dia telah bangkit syahwatnya sebagaimana dirimu, agar engkau tidak mendahuluinya dalam klimaks." (al-Mughni li Ibnu Qudamah, 8/136

Selain itu pengambilan contoh tradisi era Romawi dan India Kuno juga tidak tepat dikategorikan tasyabbuh. Sebab oral seks umum dijumpai saat ini sehingga menjadi tidak identik dengan peradaban tertentu. Tasyabbuh yang hilang ciri khasnya tidak lagi dinamakan tasyabbuh.

- Dalam Hasyiyah asy-Syarqawi:

(قوله والمترجلات) اى المتشبهات بالرجال فى أقوالهن وأحوالهن كلبس الطرابيس إلا إن غلب عرف بلبس ذلك للرجال والنساء كما هو حاصل الآن بمصرى فهو جائز لهن

"[Bertingkah kelelakian] yakni sikap menyerupai dengan lelaki dalam ucapan dan keadaan, seperti memakai topi tarbus, kecuali bila penggunaannya sudah merata oleh lelaki dan perempuan sebagaimana yang terjadi di Mesir sekarang maka boleh bagi wanita memakainya." (Hasyiyah asy-Syarqawi, 2/430)

Wacana kedua, mulut istri bukanlah tempat yang diperintahkan Allah kepada suami untuk memasukkan kemaluannya.

Jawaban: Klarifikasi atas wacana tersebut bisa diketahui dari telaah dalil yang dijadikan acuan.

Dalil yang dimaksud berasal dari QS. Al-Baqarah ayat 222:

فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

"Apabila mereka telah suci, maka datangilah (setubuhilah) mereka itu pada sisi/dari sisi yang diperintahkan Allah kepadamu"


1. Telaah pertama: lafazh fa-tuhunna.

Disebutkan dalam Tafsir al-Jalalain (1/47), Tafsir Munir (1/76), Audhah at-Tafsir (69/44), Aysar at-Tafsir (1/205) dan beragam kitab tafsir lainnya bahwa yang dikehendaki dengan ityan pada fa-tuhunna adalah jima' (bersetubuh). Jima', baik sebagai denotatif ataupun konotatif dari nikah, didefinisikan dengan:

النكاح إيلاج ذكر في فرج ليصير بذلك كالشيء الواحد وقال الراغب أصل النكاح العقد ثم استعير للجماع ومحال أن يكون في الأصل للجماع ثم استعير للعقد لأن أسماء الجماع كلها كنايات

"Nikah adalah membenamkan dzakar ke dalam farji sehingga seolah-olah menjadi satu kesatuan. Ar-Raghib berkata: Asal pemakaian kata nikah adalah untuk akadnya, lalu dipakai sebagai kiasan dari jima'. Mustahil dikatakan nikah adalah asal dari jima' yang seterusnya dikiaskan pada akadnya, sebab semua nama-nama jima' adalah kiasan." (At-Tauqif 'ala Muhimmat at-Ta'arif, 1/710)

Dengan demikian diketahui bahwa maksud kelamin wanita sebagai tempat yang diperintahkan Allah pada suami untuk memasukkan kemaluannya adalah dalam konteks jima' (bersetubuh) bukan bercumbu (istimta').

2. Telaah kedua: lafazh min haitsu

Wacana kedua itu mengartikan 'min haitsu amarakumullah' sebagai 'fi haitsu amarakumullah' sehingga maknanya: Maka datangilah (setubuhilah) mereka itu pada sisi (dari tempat) yang diperintahkan Allah kepadamu. Tafsiran semacam itu boleh saja, dengan catatan dalam konteks jima' sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, meski sebenarnya ada empat pendapat berbeda tentang tafsir lafazh 'min haitsu':

قوله تعالى: مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ الله فيه اربعة أقوال.

أحدها: أن معناه من قبل الطهر لا مِنْ قِبَلِ الْحَيْضِ، قاله ابن عباس، وأبو رزين، وقتادة، والسدي في آخرين.

والثاني: أن معناه: فأتوهن من حيث أمركم الله أن: لا تقربوهن فيه، وهو محل الحيض، قاله مجاهد، وقال من نصر هذا القول: إنما قال: أَمَرَكُمُ الله, والمعنى نهاكم لأن النهي أمر بترك المنهي عنه، و من بمعنى في كقوله تعالى يَـٰۤأَيـُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوۤا إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ, الجمعة: 9.

والثالث: فأتوهن من قبل التزويج الحلال لا من قبل الفجور، قاله ابن الحنفية.

والرابع: أن معناه فاتوهن من الجهات التي يحل أن تقرب فيها المرأة، ولا تقربوهن من حيث لا ينبغي مثل أن كن صائمات، أو معتكفات، أو محرمات، وهذا قول الزجاج، وابن كيسان

"Firman Allah: Min haitsu amarakumullah, terdapat empat pendapat mengenai ayat ini :

1.Pertama, maknanya adalah dari sisi ketika suci bukan dari sisi ketika haidh, ini pendapat Ibnu 'Abbas, Abu Razin, Qatadah, dan as-Sudi dari generasi terakhir salaf.

2.Kedua, bahwasanya maknanya adalah: datangilah di sisi (tempat) yang diperintahkan Allah, bahwasanya janganlah mendekatinya pada tempat itu, yakni tempat darah haidh. Ini pendapat Mujahid. Dikuatkan oleh pernyataan: teks ayat 'amarakumullah' adalah satu konsep dengan larangan kebalikannya, sebab larangan sama juga dengan perintah untuk meninggalkan yang dilarang. Sedangkan 'min' bermakna 'fi' sebagaimana dalam ayat 'Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat di hari Jum'at' (min yaumil jumu'at, pen).

3.Ketiga, datangilah dari sisi pernikahan yang halal bukan dari sisi yang tercela. Ini pendapat Abu Hanifah.

4.Keempat, bahwasanya maknanya adalah datangilah dari sisi yang dihalalkan untuk mendekati wanita, dan jangan dekati dari sisi yang tidak seharusnya, seperti ketika pereempuan itu berpuasa, i'tikaf, ataupu beribadah ihram. Ini pendapat az-Zujaj dan Ibnu Kaisan." (Zad al-Masir, 1/223)

Wacana ketiga, oral seks tidak menghasilkan anak dan tidak sesuai dengan maksud penciptaan syahwat.

Jawaban : Oral seks adalah bagian dari percumbuan (istimta') bukan persetubuhan (jima'). Bahkan pada persetubuhan sekalipun menghasilkan anak tidak disepakati menjadi syarat wajib hubungan suami istri. Antara lain mengambil i'tibar dari kebolehan 'azl (mengeluarkan sperma di luar organ kelamin wanita) yang mana berkonsekuensi persetubuhan yang tidak menghasilkan anak. Disebutkan dalam hadits:

كُنَّا نَعْزِل عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَنْهَنَا

"Kami melakukan 'azl di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu hal itu sampai pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau tidak melarang kami." (HR. Muslim)

وَلَا يَحْرُمُ فِي الزَّوْجَةِ عَلَى الْمَذْهَبِ سَوَاءٌ الْحُرَّةُ وَالْأَمَةُ بِالْإِذْنِ وَغَيْرِهِ

"Azl tidak diharamkan menurut qaul madzhab, baik pada perempuan merdeka ataupun hamba sahaya, baik dengan seijinnya maupun tidak." (Hasyiyah al-Bujairimi 'ala al-Khatib, 14/278)

Wacana keempat : Oral seks menyerupai perilaku hewan, dimana tasyabbuh dengan tingkah hewan diharamkan sesuai keterangan beberapa hadits.

Jawaban : Koreksi atas wacana tersebut datang dari dua sisi.

Koreksi pertama, dalil-dalil tasyabbuh dengan hewan tersebut dijumpai dalam konteks shalat, tidak dijumpai qiyas ulama dalam kondisi lainnya.

Dalil-dalil yang dimaksud antara lain:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ وَلَا يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ

"Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seimbangkanlah kalian dalam sujud, dan janganlah salah seorang dari kalian membentangkan kedua sikunya sebagaimana anjing membentangkan tangannya." (H.R.Bukhari-Muslim)

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا لِي أَرَاكُمْ رَافِعِي أَيْدِيكُمْ كَأَنَّهَا أَذْنَابُ خَيْلٍ شُمْسٍ اسْكُنُوا فِي الصَّلَاةِ

"Dari Jabir bin Samurah berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar menemui kami dan bersabda: Mengapa aku melihat kalian mengangkat tangan kalian, seakan-akan ia adalah ekor kuda yang gelisah. Tenanglah kalian di dalam shalat." (HR. Muslim)

عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَلِيُّ لَا تُقْعِ إِقْعَاءَ الْكَلْبِ

"Dari Ali berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Hai Ali, janganlah duduk seperti duduknya anjing (dalam shalat)." (HR. Ibnu Majah)

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِبْلٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَقْرَةِ الْغُرَابِ وَافْتِرَاشِ السَّبُعِ وَأَنْ يُوَطِّنَ الرَّجُلُ الْمَكَانَ فِى الْمَسْجِدِ كَمَا يُوَطِّنُ الْبَعِيرُ.

Dari Abdurrahman bin Syibli berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang (sujud dengan cepat) seperti burung gagak mematuk dan (menghamparkan lengan ketika sujud) seperti binatang buas yang sedang membentangkan kakinya dan melarang seseorang mengambil lokasi khusus di masjid (untuk ibadahnya) sebagaimana unta menempati tempat berderumnya (berlutut turun dengan kedua kaki depan atau keempat kakinya, pen)." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasai, Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah)

Komentar Ibnu Daqiq al-'Ied dan Ibnu Hajar al-'Asqalani tentang hadits tersebut:

وقال ابن دقيق العيد هو ذكر الحكم مقرونا بعلته لأن التشبيه بالأشياء الخسيسة يناسب تركه في الصلاة ذكره السيوطي قال ابن حجر فيكره ذلك لقبح الهيئة المنافية للخشوع والأدب إلا لمن أطال السجود حتى شق عليه اعتماد كفيه فله وضع ساعديه على ركبتيه

"Ibnu Daqiq al-'Ied berkata: hadits itu berisi tentang penuturan hukum beserta alasannya. Sebab penyerupaan dengan sesuatu yang rendah bersesuaian untuk ditinggalkan dalam shalat, diungkapkan juga oleh as-Suyuthi. Ibnu Hajar berkomentar bahwa hal itu dimakruhkan sebab merupakan tingkah yang buruk yang meniadakan sifat khusu' dan adab, kecuali pada orang yang panjang sujudnya sehingga kepayahan menyangga dengan kedua telapak tangannya, maka dia boleh meletakkan kedua lengannya pada kedua lututnya". (Mirqat al-Mafatih syarh Misykat al-Mashabih, 3/425).

Koreksi kedua, bersetubuh dengan gaya belakang (doggy style) diperbolehkan oleh syariat meski nyata tasyabbuh dengan banyak hewan.

- Dalam tradisi kaum Anshar

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَال إِنَّ ابْنَ عُمَرَ وَاللَّهُ يَغْفِرُ لَهُ أَوْهَمَ إِنَّمَا كَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ الْأَنْصَارِ وَهُمْ أَهْلُ وَثَنٍ مَعَ هَذَا الْحَيِّ مِنْ يَهُودَ وَهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ وَكَانُوا يَرَوْنَ لَهُمْ فَضْلًا عَلَيْهِمْ فِي الْعِلْمِ فَكَانُوا يَقْتَدُونَ بِكَثِيرٍ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ مِنْ أَمْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَأْتُوا النِّسَاءَ إِلَّا عَلَى حَرْفٍ وَذَلِكَ أَسْتَرُ مَا تَكُونُ الْمَرْأَةُ فَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ الْأَنْصَارِ قَدْ أَخَذُوا بِذَلِكَ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ قُرَيْشٍ يَشْرَحُونَ النِّسَاءَ شَرْحًا مُنْكَرًا وَيَتَلَذَّذُونَ مِنْهُنَّ مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ فَلَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْمَدِينَةَ تَزَوَّجَ رَجُلٌ مِنْهُمْ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ فَذَهَبَ يَصْنَعُ بِهَا ذَلِكَ فَأَنْكَرَتْهُ عَلَيْهِ وَقَالَتْ إِنَّمَا كُنَّا نُؤْتَى عَلَى حَرْفٍ فَاصْنَعْ ذَلِكَ وَإِلَّا فَاجْتَنِبْنِي حَتَّى شَرِيَ أَمْرُهُمَا فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ } أَيْ مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ يَعْنِي بِذَلِكَ مَوْضِعَ الْوَلَدِ

"Dari Ibnu Abbas berkata, sesungguhnya Ibnu Umar -semoga Allah mengampuninya- dia telah khilaf, sesungguhnya terdapat sebuah pemukiman Anshar yang merupakan para penyembah berhala, hidup bersama pemukiman Yahudi yang merupakan ahli kitab. Mereka memandang orang-orang yahudi memiliki keutamaan atas mereka dalam hal ilmu. Maka mereka mengikuti kebanyakan perbuatan orang-orang Yahudi. Di antaranya adalah para ahli kitab tidak menggauli isterinya kecuali dengan cara miring berhadapan di mana hal tersebut dipandang lebih menjaga rasa malu seorang wanita.

Kaum Anshar mengambil tradisi tersebut sementara kaum Quraisy menggauli isteri mereka dengan cara yang ditentang (oleh kaum Anshar). Kaum Quraisy bersenang-senang dengan isterinya baik dengan model menghadap, membelakangi, serta terlentang. Kemudian tatkala orang-orang muhajirin datang ke Madinah, salah seorang di antara mereka menikahi wanita anshar. Kemudian dia menggaulinya dengan cara Quraisy itu. Wanita anshar tersebut mengingkarinya dan berkata: Sesungguhnya kami hanya didatangi dengan cara miring berhadapan, lakukan hal itu jika tidak jauhilah aku! Akhirnya tersebarlah permasalahan mereka berdua dan sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Lantas Allah 'azza wajalla menurunkan ayat: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. 
Yakni dalam keadaan menghadap, membelakangi, serta terlentang, pada tempat lahirnya anak (farji)." (HR. Abu Dawud) 
- Dalam perilaku Umar 
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ وَمَا الَّذِي أَهْلَكَكَ قَالَ حَوَّلْتُ رَحْلِيَ الْبَارِحَةَ قَالَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ شَيْئًا قَالَ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى رَسُولِهِ هَذِهِ الْآيَةَ { نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ } أَقْبِلْ وَأَدْبِرْ وَاتَّقِ الدُّبُرَ وَالْحَيْضَةَ 
"Dari Ibnu Abbas berkata, Umar bin Khaththab datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: Wahai Rasulullah aku telah binasa. Beliau bertanya: Apa yang membinasakanmu? Umar menjawab: Aku membalik tungganganku (istriku) tadi malam. Ibnu Abbas berkata: Beliau tidak mengatakan apa-apa mengenai hal itu. Ibnu Abbas melanjutkan: Lalu Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya ayat ini: Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (Lalu beliau mengatakan): "Bagaimana saja kamu kehendaki, baik dari depan atau belakang tapi hindarilah dubur dan wanita haidh." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Thabarani, dan Abu Ya'la) 
Wacana kelima, oral seks adalah hal menjijikkan, menyalahi fitrah, tidak beradab, serta mulut yang dipakai untuk berdzikir dan membaca al-Qur'an tidak layak berinteraksi dengan kemaluan sehingga patut diharamkan. 
Jawaban : Argumen tersebut adalah perasaan subyektif manusia yang tidak bisa semata-mata dijadikan dalil. Sifatnya relatif dan bisa berbeda-beda tiap manusia. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam enggan menyantap dhab (sejenis reptil arab) sementara Khalid bin Walid memakannya. Gaya persetubuhan dari belakang tadinya dipandang hina oleh kaum wanita Anshar dan Umar namun syariat memperbolehkannya. 
Alasan mulut sebagai tempat berdzikir sehingga tidak layak berinteraksi dengan farji juga tidak cukup dijadikan illat. Mata berguna untuk membaca al-Qur'an namun boleh untuk melihat farji. Tangan yang dipakai untuk bersedekah juga tidak dilarang untuk menyentuh farji. 
Wacana keenam, oral seks menimbulkan resiko bermacam penyakit seperti kanker mulut, penyakit kulit, jamur pada kelamin wanita, kanker tenggorokan,hepatitis A/B/C, syphilis, AIDS, dll. Dengan demikian oral seks berimbas pada madharat. Madharat berimbas pada hukum haram. 
Jawaban : Resiko penyakit pada oral seks adalah informasi medis, bukan bukti medis. 
Penjelasannya, informasi medis dan bukti medis diistilahkan oleh KH. Arwani Faishal ketika mengomentari madharat rokok. Diungkapkan olehnya bahwa hasil penelitian medis sekarang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun tentang kemudharatan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. 
Tangan yang tidak dicuci menurut informasi medis rentan resiko penyakit Flu Singapura, Hepatitis A, Shigellosis (bakteri diare), dan Giardiasis (parasit usus). Sementara dari bukti medis belum diketahui berita masyarakat yang jatuh sakit karena makan tidak cuci tangan. 
Dalam bahasa fiqih, dharar yang belum tahaqquq (belum sampai pada taraf bukti medis) tidak akan berimbas pada hukum haram. 
Ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitami: 
فَهُمْ مُتَّفِقُونَ على أَنَّهُ إنْ تَحَقَّقَ فيه ضَرَرٌ حَرُمَ وَإِلَّا لم يَحْرُمْ 
"Para ulama sepakat bahwa bila madharat telah terbukti nyata keberadaannya maka diharamkan, bila tidak demikian maka tidak haram." (Fatawa al-Kubra, 4/225). 
Perlu diketahui bahwa analisa istinbath hukum dari bahan konsumsi yang madharat setidaknya diproses lewat lima tahapan. Metodologi ini disarikan dari fatwa Ibnu Hajar ketika menjelaskan golongan tumbuhan yang madharat. 
1.Tahapan pertama, tahaqquq dharar. Yakni hukum dharar mulai digali ketika sifat dhararnya tahaqquq. Bila tidak tahaqquq maka tidak haram, dan bila terbukti tahaqquq maka boleh melangkah ke tahap kedua. 
2.Tahapan kedua, qath'i dharurat dharar. Yakni menelusuri apakah dharar itu bersifat qath'i darurat lewat pembuktian riset dari orang dengan reputasi adil yang dijamin stabil dihukumi dharar dari masa ke masa. Hal ini mustahil mengingat hasil riset pernyataan madharat tidak ada jaminan untuk tidak berubah di kemudian hari, sehingga melangkah ke tahap ketiga. 
3.Tahapan ketiga, khabar mutawatir tentang dharar. Yakni menelusuri apakah ada khabar mutawatir tentang madharat tersebut dari golongan yang reputasi adil. Bila ada maka dijadikan pegangan, namun bila timbul dua khabar mutawatir saling bertentangan maka melangkah ke tahap keempat. 
4.Tahapan keempat, memadukan khabar mutawatir dharar yang bertentangan. Yakni bila dua khabar itu bisa dipadukan maka wajib dipadukan sesuai kaidah ushul, dilakukan dengan mengarahkan khabar adanya dharar pada sebagian kondisi serta khabar tidak adanya dharar pada sebagian kondisi yang lain. 
5.Tahapan kelima, tarjih khabar dharar. Yakni bila khabar mutawatir itu tidak bisa dipadukan maka kedua khabar berubah statusnya menjadi hukum zhanni. Dalam perspektif dalil zhanni maka boleh mentarjih satu dari dua khabar bertentangan yang dianggap lebih dipercaya, memilih suatu pendapat tersendiri dari orang yang dipercaya (ketika tidak ada pertentangan khabar), atau lewat pembuktian pada diri sendiri atas madharat tersebut. 
Berikut sejumlah kutipan ta'bir terpisah dari fatwa Ibnu Hajar untuk dijadikan acuan: 
Ta'bir tahapan pertama: 
فَوَرَاءَ ذلك نَظَرٌ آخَرُ وهو أَنَّ ما يَخْتَلِفُ كَذَلِكَ هل النَّظَرُ فيه إلَى عَوَارِضِهِ اللَّاحِقَةِ له فَيَحْرُمُ على من ضَرَّهُ دُونَ من لم يَضُرَّهُ أو إلَى ذَاتِهِ فَإِنْ كان مُضِرًّا لِذَاتِهِ حَرُمَ مُطْلَقًا وَإِلَّا لم يَحْرُمْ مُطْلَقًا 
"Di balik semua pentafshilan itu ada sebuah pertimbangan, yakni pada dampak yang berlainan seperti itu, yang dijadikan pertimbangan nanti apakah karena faktor luar yang dijumpai pada benda itu sehingga diharamkan bagi yang terkena madharat saja dan bukan bagi lainnya, atau bisa karena faktor esensi benda itu, bila secara alamiah berbahaya maka diharamkan sedang bila tidak berbahaya maka tidak diharamkan." (Fatawa al-Kubra, 4/224) 
فَهُمْ مُتَّفِقُونَ على أَنَّهُ إنْ تَحَقَّقَ فيه ضَرَرٌ حَرُمَ وَإِلَّا لم يَحْرُمْ 
"Para ulama sepakat bahwa bila madharat telah terbukti nyata keberadaannya maka diharamkan, bila tidak demikian maka tidak haram." (Fatawa al-Kubra, 4/225) 
Ta'bir tahapan kedua: 
وَبِالضَّرُورَةِ الْقَطْعِيَّةِ الْعِلْمُ بِحَقِيقَةِ هذا النَّبَاتِ مُتَعَسِّرٌ لِأَنَّهُ لَا طَرِيقَ إلَى الْعِلْمِ بها إلَّا خَبَرُ الصَّادِقِ وهو ما يَئِسَ منه إلَى أَنْ يَنْزِلَ عِيسَى على نَبِيِّنَا وَعَلَيْهِ وَعَلَى سَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ وَأَزْكَى السَّلَامِ أو التَّجْرِبَةُ وَهِيَ مُعْتَذِرَةٌ -إلى أن قال- 
ثُمَّ قُلْت له لَا بُدَّ أَنْ تَسْتَنِدَ إلَى حُجَّةٍ لم يَقَعْ فيها تَعَارُضٌ وَلَا نِزَاعٌ وَهِيَ التَّجْرِبَةُ فقال لَا يُمْكِنُنِي لِأَنَّ التَّجْرِبَةَ تَسْتَدْعِي مِزَاجًا وَزَمَانًا وَمَكَانًا مُعْتَدِلَاتٍ وَعَدَالَةَ الْمُجَرِّبِ لِأَنَّهُ يُخْبِرُ عَمَّا يَجِدَهُ من ذلك النَّبَاتِ فَلَا بُدَّ من عَدَالَتِهِ حتى يُقْبَلَ إخْبَارُهُ وَذَلِكَ كُلُّهُ مُتَعَذِّرٌ في هذه الْأَقَالِيمِ لِأَنَّهَا غَيْرُ مُعْتَدِلَةٍ 
"Sulit mengetahui hakekat dari tumbuhan ini secara hukum dharurat qath'i. Sebab tidak ada jalan untuk sampai pada taraf tahu kecuali dengan khabar dari seorang yang shadiq, yaitu seseorang yang mampu hidup dari masa ia hidup sampai masa turunnya Nabi Isa kelak -'ala nabiyyina wa 'alaihi wa 'ala sairil anbiyai wal mursalin afdhalush shalat wa azkas salam- ataupun dengan percobaan (riset). 
Aku katakan padanya: Hal itu wajib disandarkan pada hujjah yang tidak mengenal pertentangan dan perselisihan. Dia berkata: Itu mustahil bagiku, sebab riset percobaan selalu bergejolak seiring waktu dan tempat yang bersesuaian, juga dikarenakan syarat adilnya pelaku riset mengingat dia yang mengkhabarkan penemuan dari tumbuhan itu, sehingga wajib diketahui sifat adilnya agar khabarnya bisa diterima. Semua hal itu mustahil di masa sekarang sebab hasil riset tidaklah stabil" (Fatawa al-Kubra, 4/224). 
Ta'bir tahapan ketiga: 
فَنَتَجَ من هذا كُلِّهِ أَنَّهُ لَا طَرِيقَ لنا إلَى الْعِلْمِ بِحَقِيقَتِهِ إلَّا مُجَرَّدُ الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ من مُتَعَاطِيهِ بِمَا يَجِدُونَهُ منه 
"Bisa disimpulkan dari semua hal tadi (kemustahilan khabar shadiq dan riset) bahwa tidak ada jalan lain mencapai taraf benar-benar tahu selain dengan khabar mutawatir semata dari penemuan orang-orang yang terlibat dengannya." (Fatawa al-Kubra, 4/224). 
Ta'bir tahapan keempat: 
ولم يَتِمَّ لِمَا عَلِمْت مِمَّا أَشَرْت إلَيْهِ من الْخِلَافِ فيه وَالِاخْتِلَافِ إذْ الْقَائِلُونَ بِالْحِلِّ نَاقِلُونَ عن عَدَدٍ مُتَوَاتِرٍ أَنَّهُ لَا ضَرَرَ فيه بِوَجْهٍ وَالْقَائِلُونَ بِالْحُرْمَةِ نَاقِلُونَ عن عَدَدِ التَّوَاتُرِ أَنَّ فيه آفَاتٍ وَمَفَاسِدَ 
وَغَلَبَ على الظَّنِّ أَنَّ سَبَبَ ذلك الِاخْتِلَافِ أَنَّهُ يَخْتَلِفُ تَأْثِيرُهُ وَعَدَمُ تَأْثِيرِهِ بِاخْتِلَافِ الطِّبَاعِ بِغَلَبَةِ أَحَدِ الْأَخْلَاطِ وَالطَّبَائِعِ الْأَرْبَعِ عليها وَأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ التَّوْفِيقُ بين هذه الْأَخْبَارِ الْمُتَنَاقِضَةِ مع عَدَالَةِ قَائِلِهَا وَبَعْدَ كَذِبِهِمْ إلَّا بِأَنْ يُفْرَضَ أَنَّهُ يُؤَثِّرُ في بَعْضِ الْأَبَدَانِ دُونَ بَعْض 
وقد أَمْكَنَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا بِمَا قَدَّمْتُهُ فَتَعَيَّنَ الْمَصِيرُ إلَيْهِ وَأَنَّهُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الطِّبَاعِ إذْ الْقَاعِدَةُ الْأُصُولِيَّةُ أَنَّهُ مَتَى أَمْكَنَ الْجَمْعُ لَا يُعْدَلُ إلَى التَّعَارُضِ 
"Hujjah dengan khabar mutawatir tidak sempurna diterima sebab dijumpainya khilaf yang telah aku isyaratkan. Kaum yang berkata halal mengutip khabar dari golongan mutawatir bahwa tumbuhan itu tidak madharat, sementara kaum lainnya berkata haram sembari mengutip juga khabar dari golongan mutawatir tentang bahaya dan dampak buruknya. 
Timbul dugaan kuat bahwa perbedaan pendapat itu bermuara dari bahwasanya berdampak atau tidaknya tergantung dari perbedaan watak seseorang yang dipengaruhi oleh dominasi salah satu dari empat elemen tubuh. Tidak dimungkinkan perpaduan pendapat di antara khabar yang bertentangan ini di mana pembawa kabar telah dianggap adil kemudian dianggap berdusta, kecuali dengan membuat ketentuan bahwa efek tumbuhan tersebut berdampak buruk bagi sebagian orang dan tidak bagi lainnya. 
Telah dimungkinkan memadukan dua khabar tadi dengan metode yang kujelaskan, maka kembalilah berpegang pada metode tadi. Dampak buruk itu bisa berbeda tergantung tabiat orangnya, sebab memandang juga kaidah ushul ketika mungkin untuk dipadukan maka tidak boleh beralih pada pertentangan." (Fatawa al-Kubra, 4/224) 
Ta'bir tahapan kelima: 
وَلَيْسَ هذا أَمْرًا قَطْعِيًّا كما عَلِمْت لِتَطَرُّقِ التُّهَمِ وَالْكَذِبِ إلَى بَعْضِ الْمُخْبِرِينَ عنه بِضَرَرٍ أو عَدَمِهِ وَتَوَاتُرِ الْخَبَرِ في جَانِبٍ مُعَارِضٍ بِتَوَاتُرِهِ في جَانِبٍ آخَرَ بِخِلَافِهِ فَسَقَطَ النَّظَرُ فيه إلَى الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ وَوَجَبَ النَّظَرُ فيه إلَى أَنَّهُ تَعَارَضَ فيه أَخْبَارٌ ظَنِّيَّةُ الصِّدْقِ وَالْكَذِبِ 
وَعَلَى فَرْضِ أَنَّهُ لَا يُمْكِنُ الْجَمْعُ بِذَلِكَ لِمَا مَرَّ أَنَّ بَعْضَ الْمُخْبِرِينَ سَلَبَ الضَّرَرَ عن هذا النَّبَاتِ سَلْبًا كُلِّيًّا وَبَعْضُهُمْ أَثْبَتَهُ له إثْبَاتًا كُلِّيًّا فَيَجِبُ الْإِمْعَانُ في تَرْجِيحِ أَحَدِ الْمُخْبِرِينَ بِدَلَائِلَ وَأَمَارَاتٍ بِحَسَبِ اسْتِعْدَادِ الْمُسْتَدِلِّ وَتَضَلُّعِهِ من الْعُلُومِ السَّمْعِيَّةِ وَالنَّظَرِيَّةِ الشَّرْعِيَّةِ وَالْإِلَهِيَّةِ وَهَذَا شَأْنُ كل حَادِثَةٍ لم يَسْبِقْ فيها كَلَامُ الْمُتَقَدِّمِينَ 
"Hal ini bukan lagi hukum qath'i sebab ada dugaan sifat tercela dan dusta pada sebagian pembawa khabar dharar atau tidaknya tanaman itu, juga sebab munculnya khabar mutawatir di sisi yang berseberangan dengan khabar mutawatir lainnya. Maka tidak berlaku lagi pertimbangan akan khabar mutawatir, yang menjadi ketentuan sekarang adalah pertimbangan akan adanya pertentangan beberapa khabar zhanni yang mungkin benar dan salah. 
Dengan berpijak pada ketentuan tidak dimungkinkannya memadukan khabar tersebut, sebab sebagian kalangan menolak dharar pada tanaman itu sepenuhnya dan sebagian lagi menetapkannya, maka wajib teliti dalam mentarjih salah satu khabar dengan mengacu pada sejumlah dalil dan pertanda tertentu, di mana hal itu tergantung pada kualitas gagasan pendapat orang dijadikan dalil serta kematangan dan analisis ilmu syariatnya. Ini adalah konteks yang berlaku pada setiap perkara kontemporer yang tidak dijumpai pendapat ulama mutaqaddimin mengenainya." (Fatawa al-Kubra, 4/225). 
والذي يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام ، كما يحرم العسل على المحرور والطين لمن يضره ، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً ، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة التي شرب لها 
"Pendapat yang jelas, bahwasanya jika didapati padanya dampak yang diharamkan bagi orang yang terkena dampak buruk tersebut pada pikiran atau tubuhnya maka dihukumi haram. Sebagaimana haramnya madu bagi orang yang sakit demam dan haramnya lumpur bagi yang terkena dampak madharatnya. Kadang dijumpai hal yang membuatnya mubah bahkan sunah, sebagaimana ketika dipergunakan untuk berobat berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa itu bisa diminum untuk dijadikan obat." (Bughyatul Mustarsyidin: 552). 
Lihat keterangan selengkapnya di Fatawa Kubra al-Fiqhiyyah bab al-asyribat wa al-mukhaddirat (minuman dan bahan konsumsi memabukkan) untuk mendapatkan gambaran lebih utuh. 
Wacana ketujuh, oral seks bisa membuat madzi tertelan sementara madzi najis dan haram dimakan. 
Jawaban : Analogi yang paling dekat dengan masalah ini adalah pada oral seks Cunnilingus. Sebagaimana dijelaskan di atas, telah disebutkan dalam Fathul Mu'in, Kasysyaful Qana', Mawahibul Jalil, dan beragam kitab lainnya bahwa oral seks kelamin wanita diperbolehkan meskipun sama-sama beresiko menelan madzi. Boleh jadi hal itu karena sifat keluarnya madzi tidak pasti, di samping bisa dimuntahkan. Antara lain mengambil i'tibar dari kesucian dzakar dari rembasan farji (ruthubah farji) dikarenakan sifat keluarnya ruthubah yang tidak bisa dipastikan kapan keluar dari kelamin wanita. 
أَمَّا الرُّطُوبَةُ الْخَارِجَةُ مِنْ الْبَاطِنِ فَنَجِسَةٌ مُطْلَقًا وَإِنَّمَا قُلْنَا بِطَهَارَةِ ذَكَرِ الْمُجَامِعِ وَنَحْوِهِ ؛ لِأَنَّا لَا نَقْطَعُ بِخُرُوجِهَا 
"Sedangkan rembasan yang keluar dari dalam farji maka mutlak najis, sedangkan mengenai pendapat kami tentang sucinya dzakar orang yang bersetubuh dan sebagainya maka hal itu dikarenakan kami tidak bisa memastikan keluarnya rembasan farji itu." (Syarhul Bahjah al-Wardiyyah, 1/149) 
Wacana kedelapan, oral seks makruh ketika terjadi inzal (keluar mani) disamping faktor menjijikkannya. 
Jawaban : Wacana ini cukup bagus. Posibilitas makruh dari sisi inzal, yakni dari tinjauan hukum 'azl, bisa dipahami. Namun tambahan 'illat jijik yang dikombinasi dengan tiadanya nash sharih bukan merupakan illat yang kuat sebagaimana dijelaskan sebelumnya. 
Pernyataan ini dilontarkan oleh salah seorang tokoh Mesir dengan kutipan ucapannya: 
أما إذا كان القصد منه الإنزال فهذا الذي يمكن أن يكون فيه شيء من الكراهة، ولا أستطيع أن أقول الحرمة لأنه لا يوجد دليل على التحريم القاطع، فهذا ليس موضع قذر مثل الدبر، ولم يجئ فيه نص معين إنما هذا شيء يستقذره الإنسان 
"Adapun ketika oral seks ditujukan sebagai inzal maka dimungkinkan hukum makruhnya. Aku tidak mampu mengatakan haram sebab tidak ada dalil yang menegaskan keharamannya, oral seks juga bukan pada tempat yang kotor seperti dubur, tidak ditemukan nash spesifik tentang oral seks hanya saja ini termasuk perkara yang dianggap jijik oleh manusia." 
PENUTUP
Oral seks secara dzatiahnya dihukumi mubah, mengingat tidak ada ketentuan khusus nash tentang hal itu sehingga dikembalikan pada hukum mubahnya. 
Namun oral seks dilihat dari amrun 'aridh (faktor eksternal) bisa menjadi makruh ketika : 
- Dilakukan dengan mata terbuka, sebab ada pendapat yang masyhur tentang makruhnya melihat farji (kelamin lelaki dan wanita). 
( وَلِلزَّوْجِ ) وَالسَّيِّدِ فِي حَالِ الْحَيَاةِ ( النَّظَرُ إلَى كُلِّ بَدَنِهَا ) أَيْ الزَّوْجَةِ وَالْمَمْلُوكَةِ الَّتِي تَحِلُّ وَعَكْسُهُ ، وَإِنْ مَنَعَهَا كَمَا اقْتَضَاهُ إطْلَاقُهُمْ ، وَإِنْ بَحَثَ الزَّرْكَشِيُّ مَنْعَهَا إذَا مَنَعَهَا وَلَوْ الْفَرْجَ لَكِنْ مَعَ الْكَرَاهَةِ وَلَوْ حَالَةَ الْجِمَاعِ 
"[Boleh bagi suami] juga bagi majikan hamba sahaya di masa hidupnya [melihat setiap badan wanita] istrinya dan sahayanya yang mana dihalalkan serta diperbolehkan juga sebaliknya, meskipun suami/majikan itu tidak berkenan [auratnya dilihat oleh wanita, pen] sebagaimana penjelasan general para ulama, meskipun imam az-Zarkasyi membahas tentang larangannya ketika pihak lelaki tidak memperkenankan, meskipun melihat pada farji namun disertai hukum makruh meskpun saat bersetubuh." (Tuhfatul Muhtaj, 29/281). 
- Dilakukan sampai inzal (keluar mani), sebab akan terhukumi sebagaimana 'azl yang juga masyhur hukum makruhnya. 
ويكره بنحو يدها كتمكينها من العبث بذكره حتى ينزل لأنه في معنى العزل 
"Dimakruhkan istimna dengan tangan istrinya, sebagaimana dimakruhkan memperkenankan istrinya bermain-main dengan dzakarnya sampai keluar mani, sebab hal disamakan konteksnya dengan 'azl." (Fathul Mu'in, 4/143). 
Seyogyanyalah setiap aktivitas yang berkaitan dengan alat kelamin untuk dibasuh setelahnya ketika hal itu dilakukan sampai terjadinya orgasme (inzal), baik pada mulut ataupun alat kelamin itu sendiri, sebagai sikap kehati-hatian atas peluang keluarnya madzi yang mengiringi mani. 
فَلْيَغْسِلْ ما أَصَابَهُ منه وَإِنْ لم نَحْكُمْ بِنَجَاسَتِهِ احْتِيَاطًا رِعَايَةً لِلْغَالِبِ الذي ذَكَرَهُ من سَبْقِ الْمَذْيِ النَّجِسِ لِلْمَنِيِّ الذي يَعْقُبُهُ 
"Maka basuhlah apa yang bersentuhan dengan dzakar meskipun ketika kita tidak menghukuminya najis, sebagai sikap hati-hati dan bentuk antisipasi atas umumnya peristiwa yang telah dituturkan mengenai madzi yang keluar mendahului mani." (Fatawa Kubra, 1/42). Wallahu subhanahu wata'ala a'lam. 

Link Asal : 
> http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/488262947863185/ 
Copyright © www.piss-ktb.com 2017

____________
Dari Aplikasi: Tanya Jawab Islam
Download: 
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.zam.pisslite